Monday, 22 July 2013

Kemana orang orang majapahit saat ini?



Majapahit itu kerajaan besar kita tahu. Kerajaan ini telah menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia ini bahkan sampai ke Vietnam. Namun nasibnya sekarang tidak jelas. Karena penasaran saya menyusuri google dan menemukan banyak hal luarbiasa yang terjadi dan dialami oleh orang-orang majapahit dan keturunannya itu.


Adalah Prasasti Gunung Butak, (1294), yang menyebutkan perjanjian antara Raden Wijaya dan Arya Wiraraja dalam usaha merintis dan membentuk kerajaan Majapahit, dalam perjanjian itu disebukan bahwa “ Jika mereka memerintah di pulau Jawa kelak, maka akan membagi kerajaan dan wilayah mereka menjadi dua bagian dan masing-masing mendapat sebagian. Kedua wilayah itu diharapkan akan saling melengkapi dan membantu demi kejayaan mereka berdua”

Seiring waktu setelah keduanya bersatu maka Majapahit berdiri dan memasuki masa keemasan, masa itu adalah saat dipimpin Hayam Wuruk. di kemudian hari setelah Hayam Wuruk wafat, Majapahit benar-benar menjadi 2 yaitu bagian barat Majapahit kedaton kulon diberikan kepada putri dari Permaisuri, Kusumawardhani dan bagian bagian timur yaitu Majapahit kedaton timur kepada Bre Wirabhumi.

Banyak literature mengatakan bahwa Majapahit jatuh oleh Demak, padahal yang jatuh adalah Majapahit Kedaton Kulon. Kejatuhan Majapahit Kedaton bagian barat ini menimbulkan banyak intrik dan pertikaian. Penuh dengan cerita drama memilukan. Yang semua itu di mulai oleh anak Brawijaya V yang masuk Islam dan mendirikan Kesultanan Demak untuk kemudian menghancurkan Kerajaan bapaknya sendiri. Disini kita diberi contoh anak yang durhaka kepada orang tuanya. Sebuah contoh tentang bagaimana kepercayaan yang membabi buta membuat kehancuran suatu bangsa. Memutuskankan hubungan keluarga. Dan menciptakan kekacauan tatanan hidup masyarkat.

Dalam hal ini terlihat terlihat bagaimana Raden Fatah telah melakukan suatu kesalahan besar terhadap ayah kandungnya. Orang tua yang telah membesarkanya. Dari kecil diasuh dengan kasih sayang tetapi ketika sudah besar malah membalasnya dengan kejahatan. Tanpa ada masalah yang jelas merebut dan menghancurkan kerajaan ayahnya. Dan setelah dirunut dari mana asalnya ternyata ternyata adalah akibat dari arahan gurunya yang mengatakan “Membunuh orang kafir itu tidak ada dosanya walau itu orangtua sendiri! (kejadian ini ditulis dalam serat Darmagandul).

Sebetulnya Brawijaya V mampu melawan anaknya itu, apalagi jika minta bantuan Majapahit Kedaton Timur, namun dia tidak mau terjadi pertumpahan. Selain bikin malu juga pasti bikin sengsara rakyatnya jika terjadi peperangan. Akhirnya demi menghindari perang, raja yang sudah tua ini menyingkir dari istana Majapahit kedaton Barat dan pergi menghilang ke daerah Banyuwangi saat ini.

Sementara Majapahit Kedaton Barat hancur diserang Demak, kemudian di bekas wilayah kerajaan ini muncul tokoh Joko Tingkir yang membentuk kerajaan Pajang, lalu Sultan Agung yang menjadi penguasa kerajaan Mataram. Nun jauh di sebelah timur pulau Jawa, kerajaan Majapahit Kedaton timur malah menjadi makmur. Aman dan tentram.

Sebagai catatan antara barat dan timur majapahit ini dulu pernah terjadi perang yaitu perang Paregreg. Pararaton mencatat, Perang Paregreg (“perang yang berangsur-angsur”) antara Wikramawardhana-Bre Wirabhumi terjadi pada tahun 1404 dan 1406. Pada perang yang pertama perang dimenangi Bre Wirabumi, tetapi perang yang kedua di tahun 1406 Bre Wirabhumi kalah. Kepalanya dipancung dan ditanam di Desa Lung. Diatasnya dibangun candi, candi Grisapura. Perang ini berawal dari ketidaksetujuan Bre Wirabhumi, atas penunjukan Suhita, putri Kusumawardhani menjadi penguasa Majapahit. Penunjukan Suhita oleh Wikramawardhana tidak disetujui Bre Wirabhūmi. karena walau anak dari seorang selir, dia merasa lebih berhak atas tahta Majapahit karena dia adalah satu-satunya anak lelaki dari Hayam Wuruk. Dikemudian hari Peristiwa ini di buat cerita oleh Mataram dengan judul Minakjinggo dan Damarwulan.

Semenjak kalah dari perang Paregreg ini para keturunan Kedaton timur pindah ibu kota ke daerah Panarukan. Dan disana mereka membangun kerajaan Blambangan. Kerajaan ini maju pesat dan menjadi kerajaan yang besar.

Namun waktu berjalan dan pada tahun 1625 Mataram membutuhkan tentara untuk menyerang VOC di Batavia, maka dibawah perintah Sultan Agung, Mataram menggempur Blambangan. Dengan kekuatan 20.000 prajurit Kerajaan Blambangan dilumpuhkan. Mataram membawa sekitar 5.000 prajurit Blambangan yang kemudian dipakai dalam penyebuan kota Batavia. (Thomas Stanford Raffless dalam History of Java ( 509). Kita tahu bagaimana Sultan Agung gagal dalam menaklukan Batavia. Namun peristiwa ini dicatat dalam sejarah dan Sultan Agung jadi Pahlawan Nasional.

Kerajaan Blambangan ternyata tetap berdiri dengan pindah ibukota yaitu ke Tawang alit. Bagi Mataram itu tidak masalah karena mereka merasa telah berhasil menaklukan Blambangan. Dan pasti akan datang lagi ke tempat itu jika perlu sesuatu. Dan hal ini terjadi di tahun 1635, 1636 dan 1640 Blambangan dirampok dan dijarah Mataram. Semua barang dan harta yang ada di istananya diambil dan penduduknya diambil juga untuk dijadikan budak. Tome Pires (Lombard, 2008: 171) menulis bahwa pada abad ke-15 dan 16, Pulau Jawa banyak memproduksi budak, dan Blambangan merupakan salah satu pengekspor terbesar budak di Indonesia.



Berbagai peperangan melawan ekspansi dari luar itu, membuat pusat Kerajaan Blambangan berpindah hingga enam tempat. Dimulai masa Arya Wiraraja di Lumajang, kemudian ke Panarukan (sekarang masuk Situbondo) dan Kedawung (sekitar Jember). Berikutnya, pusat kerajaan semakin terdesak ke pedalaman Banyuwangi. Yakni, di Macan Putih (kecamatan Kabat), Lateng (Kecamatan Rogojampi), Ulupampang (Muncar) dan terakhir di kota Banyuwangi.



Karena seringnya diserang seperti itu kemudian ibukota Blambangan pindah ke Bayu, kemudian ke Macan Putih atas pertimbangan daerah Bayu dan Macan Putih terlindungi Gunung Raung dan Gunung Ijen. Di perbukitan sebelah barat Gunung Raung itulah kerajaan Macan Putih berdiri dan istananya terletak di puncak Gunung Raung. Dan setelah pindah kesini kerajaan ini pun bisa menikmati rasa aman dan ketenangan. Kerajaan Blambangan menjadi makmur lagi.

Tetapi masalah besar itu datang lagi. Pada tahun 1743, Raja Pakubuwana II dari Mataram menyerahkan Java’s Oosthoek (dari sebelah timur Malang sampai Banyuwangi ) kepada VOC sebagai balasan atas pengembalian tahtanya yang direbut pemberontak . Penyerahan kawasan ini berdasarkan atas sebuah klaim teritorial waktu penaklukan Mataram oleh Sultan Agung. Saat itu Blambangan dijajah oleh Kerajaan Mengwi, Kerajaan yang terletak di Bali. Penguasanya saat itu bernama Gusti Kuta Beda.



Pada awalnya VOC tidak terlalu peduli dengan wilayah ini. Namun ketika Inggris mendekati Blambangan untuk berbisnis dengan membuka kantor dagangnya di Ulupampang (Banyuwangi), maka VOC langsung berniat mengambil wilayah ini karena perdagangan Inggris di Blambangan membuat VOC ketakutan wilayahnya diambil. Dan pada bulan Juni 1766 Hoge Regering memutusan untuk mengirim expedisi ke Timur untuk mengambil wilayah ini. 23 Maret 1767 ekspedisi Belanda tiba di Banyualit. Pertempuran meletus. Ratusan laskar Blambangan pimpinan Gusti Kuta Beda terbunuh. VOC menguasai benteng di Banyualit. Selat Bali mulai dari Meneng sampai Grajagan diblokir.



Jatuhnya Banyualit membuat orang Blambangan asli menguasai wilayahnya kembali, Namun Orang-orang Bali dibantu orang-orang Bugis dan Mandar melakukan penyerangan orang-orang Blambangan. Kebayang kacaunya suasana saat itu. Namun tetap yang menang VOC. Karena setelah orang Blambangan berhasil mengusir orang-orang Bali, Bugis dan Mandar mereka harus berhadapan lagi dengan VOC. Dan ternyata perlu waktu yang lama dan berdarah-darah untuk mengambil Blambangan ini. Serangan VOC brutal dan tanpa ampun. Prajurit Blambangan yang tertangkap digantung dipohon atau dibakar hidup hidup. Kota-kota yang dilewati selalu hancur lebur tanpa sisa. persedian pangan dan desa orang Blambangan dibumi hangus. Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi menjadi kosong. Yang tersisa hanya debu dan asap hitam, penduduknya mengungsi ke hutan-hutan dan gunung-gunung. Dan tempat yang paling banyak menampung pengungsian itu adalah dusun Bayu. Disinilah benteng terakhir orang Blambangan.



Perlawanan rakyat Blambangan terhadap VOC masih tetap banyak, kuat dan tanpa ampun. Pasukan Kompeni dibuat frustasi menghadapi ini. Bahkan tanggal 18 Desember 1771 Kompeni kalah dalam penyerbuan mereka ke benteng Bayu. Penyerbuan ini tadinya rencananya adalah penyebuan terakhir VOC terhadap orang-orang Blambangan, sehingga dibuat penuh rencana dengan kekuatan yang besar. Bayu diserang tanpa henti dari pagi sampai sore hari. Pertempuran hari ini disebut the last stand nya orang Blambangan. Pertempuran hidup matinya Blambangan dan dikenal dengan sebutan Puputan Bayu.



Dalam penyerbuan kali ini, VOC dibuat malu. Jendral perangnya ditangkap dan di potong-potong. Kepalanya ditancapkan ke ujung tombak, dan kemudian diarak keliling desa. Tentara kompeni yang tersisa digiring ke parit-parit jebakan yang telah disediakan dan dihujam dari atas. tentara Eropah nya habis terbunuh dan yang tersisa melarikan diri dalam keadaan luka-luka ke Lateng. (Ibid 1923 : 1(58). Jika kita pernah mendengar daerah Pondok mayit di gunung raung, disinilah tempat digantungnya mayat prajurit Belanda yang dibunuh oleh para pejuang saat itu. Sampai saat ini di gunung raung menjadi sangat angker karena disinilah tempat pembantai itu semua terjadi.



Dengan kekalahan ini VOC marah besar. Dan mereka mulai mempersiapkan balasan dari kekalahan mereka . Di awal tahun 1772 semua bupati taklukan VOC yang ada di pantai utara Jawa bagian Timur diperintahkan untuk mengirimkan pasukan-pasukannya. Semua tentara Eropa yang ada di Batavia dikirim ke Blambangan dan pada bulan Agustus 1772 terkumpul 5000 tentara VOC di Blambangan. J.R. Van den Burgh, Gubernur Jawa bagian Timur, datang sendiri ke Blambangan. Semua alat perang terbaru dan terkuat dikirim kesini.

Tanggal 5 0ktober 1772 Bayu dikepung dari semua penjuru. Semua pintu keluar masuk Bayu ditutup. Dibuat kelaparan dan tanpa bantuan pihak luar. Bayu diisolasi total. Dan akhirnya tanggal II Oktober Bayu digempur habis-habisan dengan tembakan-tembakan meriam. Sehingga kalah total. Benteng Bayu dimusnahkan dan rata dengan tanah. Pejuang-pejuang yang tertangkap dibunuh, kepalanya dipotong dan ditancapkan di tonggak-tonggak pagar di sepanjang jalan . Tubuhnya digantung di pohon-pohon sepanjang hutan . Tersisa sekitar 2.505 orang yang masih hidup , laki dan perempuan dibawa ke Pangpang, untuk disiksa dan dirajam. Setengahnya dihukum mati dengan diikat batu dan dilempar ke laut, sisanya dikirim ke Surabaya dan Batavia dijadikan budak .

Penduduk Blambangan yang tersisa memilih menyebrang ke Bali atau ke wilayah pegunungan di sebelah selatan atau baratdaya. Perang ini sendiri telah memakan korban tidak kurang 60.000 rakyat Blambangan yang gugur, hilang, atau menyingkir ke hutan. Untuk merebut Blambangan, khususnya untuk peperangan di Bayu ini, VOC telah menghabiskan dana sebesar 8 ton emas yang pasti menguras uang VOC. Beberapa tahun kemudian VOC pun bangkrut dan perusahaan ini diambil alih oleh Negara Belanda.

Dalam History of Java, disebutkan kalau penduduk Blambangan tahun 1750 dihuni lebih dari 80.000 jiwa, namun di tahun 1881 tersisa hanya 8.000 jiwa. Kebayang sudah dahsyatnya perang itu. Dan dari 8000 yang tersisa itu mereka tinggal di Banyuwangi, Jember, Bondowoso, Situbondo dan Lumajang. Mereka ini dikemudian hari disebut orang Osing.

Osing sendiri asalnya diambil dari kata sing yang artinya tidak. Hal ini karena dari mereka yang tersisa ini sudah kapok dan menjadi selalu curiga dengan orang asing. Pengalaman mereka mengajarkan hal itu. Orang-orang Mataram telah menjual mereka pada Belanda. Orang Madura telah ikut mengeroyok mereka. Bali telah menjajah mereka. Bugis membantu Bali ikut menyerang mereka.

Kalau mereka ditanya apakah bapak ini orang jawa atau orang bali. Mereka bilang sing. Kalau ditanya apakah bapak mau bekerja dengan kami. Mereka pasti menjawab sing. Bangsa Belanda selalu gagal membujuk orang-orang sisa Kerajaan Blambangan ini untuk bekerja sama. Sikap yang sama, juga ditujukkan saat awal-awal Orde Baru. Mereka masih menganggap, pemerintahan yang ada tidak jauh berbeda dengan penjajah Belanda. Mereka selalu berkelompok dan selalu mewaspadai kedatangan orang asing.

Pendudukan VOC di Blambangan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja untuk menjalankan usaha-usaha eksploitasi di Blambangan. Oleh karena itu, kemudian VOC mendatangkan banyak pekerja dari Jawa Tengah dan Madura dalam jumlah besar ke wilayah ini. Pemerintah juga perlu orang untuk membangun daerah ini, namun susah mendapatkan penduduk asli yang mau sehingga mereka membawa dari daerah lain, lama-lama penduduk asli blambangan makin terdesak. Mereka hanya mau bertani dan bertani. Jauh dari orang asing.

Masyarakat yang malang ini semakin dihinakan dengan dibuatnya cerita Damarwulan dan Minakjinggo oleh Mataram. Dalam kisah ini Bre Wirabumi digambarkan sebagai Minak Jinggo. Seorang raja bermuka merah dan bertabiat kasar, buruk rupa, pincang dan berbadan besar. Pokoknya digambarkan sebagai orang terjelek sedunia.

Dan sisa-sisa prajurit majapahit itu semakin menghilang di desa-desa di gunung dan hutan Jawa Timur. Mereka hanya mau menjadi petani. Mereka tidak ada yang jadi pedagang atau pegawai negeri karena mereka masih tidak percaya dengan pendatang. Ketika anak-anaknya banyak yang sekolah dan mendapat pendidikan tinggi mereka tidak begitu saja mengijinkan anaknya menjadi pegawai negeri. karena masih beranggapan, pemerintahan itu adalah penjajah yang melanjutkan kekuasaan Belanda. Sehingga menjadi wajar jika pada September 2012, jumlah penduduk miskin di Jawa Timur juga adalah yang terbesar se-Indonesia. persentase penduduk miskin Jawa Timur sebesar 13,08 % ( standar penduduk miskin nasional 11,66 %).

Namun waktu berjalan, para keturunannya, para generasi mudanya mulai bangga setelah tahu siapa dan bagaimana nenek moyangnya dulu. Sikap “Sing” ini sekarang mulai melunak berganti percaya kepada republik ini, Beberapa orang mulai mau ikut dalam percaturan Republik ini. Menjadi PNS, berdagang, bersekolah. Mudah-mudah republik ini tidak mengecewakan mereka lagi. Namun hari-hari ini di layar TV sinetron Damarwulan ratingnya tinggi dan ditayangkan saat primetime, bisa kebayang hati dan perasaan orang-orang osing melihat hal itu. Ahh ternyata.. sejarah memang milik orang yang berkuasa.

Wednesday, 17 July 2013

Mengapa Syeik Siti Jenar harus mati ?



Sejarah itu milik penguasa. Dia yang menentukan benar atau salah seseorang. Dialah yang menentukan benar tidaknya suatu cerita. Namun penguasa tidak bisa hidup selama-lamanya mereka dikalahkan oleh waktu dan waktulah yang akan membuktikan apa itu kebenaran sesungguhnya itu.


Adalah Syeh Abdul Jalil, datang ke Jawa dan bermukim di Bukit Amparan Jati (Daerah Cirebon sekarang). Disana, beliau bertemu dengan Syeh Dzatul Kahfi, seorang ulama sepuh yang sudah lama menetap di Bukit Amparan Jati. Ulama sepuh inilah guru dari Pangeran Walang Sungsang dan Dewi Rara Santang, putra-putri dari Prabu Silih Wangi, Raja Pajajaran.


Syeh Abdul Jalil kemudian berpindah ke Carbon Girang. Disana beliau mendirikan sebuah Pesantren dengan nama KRENDHASAWA. Banyak yang tertarik dengan ajaran beliau yang bernuansa spiritual murni. Di pesantren ini tidak diajarkan politik sehingga keadaan adem tentram . cocok sekali untuk mereka yang mencari kedamaian.

Saat itu agama islam sedang awal-awalnya masuk. Di daerah Surabaya sudah ada dean wali, biasa disebut wali sanga. Wali-wali ini membawahi wilayah kerja masing-masiing. Nah untuk wilayah Jawa bagian jawa sebelah barat kosong sehingga perlu seseorang untuk memimpin islam di daerah itu maka dipanggilah Syek bdul Jalil untuk masuk menjadi anggota Dewan Wali. (saat itu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, masih di Mesir.)

Syeh Abdul Jalil tidak menolak ajakan itu dan bersedia masuk menjadi anggota Dewan Wali Sanga. Begitu menjadi anggota Dewan Wali, beliau mendapat julukan Syeh Lemah Abang atau Syeh ksiti Jenar ( Lemah = Tanah, Abang = Merah. Ksiti = Tanah, Jenar = Kuning ). Beliau mendapat gelar seperti itu karena beliau tinggal didaerah yang tanahnya berwarna merah kekuning-kuningan, Tanah jawa barat saat itu seperti itu.

Kata KSITI yang artinya tanah, lama-lama berubah menjadi SITI. dan beliau akhirnya dikenal dengan sebutan Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang.

Peritiwa diangkatnya sheik abdul jalil menjadi anggota dewan wali ini oleh babad tanah jawa dikiaskan dengan cacing tanah yang terambil oleh Sunan Benang saat mengambil tanah untuk menambal lobang pada perahu kala hendak berlayar ke tengah laut. Saat itu Sunan Bonang sedang memberi wejangan pada sunan kali jaga. Begitu selesai mewejang barulah Sunan Benang menyuruh cacing itu berubah menjadi manusia.



Disini jelas terlihat bagaimana rakyat jelata dianggap sebagai cacing. Apalagi hubungan Sunan giri dengan Sheik abdul Jalil saling bersebrangan.

Saat itu anggota wali semuanya keturunan ningrat atau bangsawan kecuali shek siti jenar. Sebut saja Sunan Ampel, dia berdarah bangsawan Champa. Sunan Bonang , Sunan Drajat, Sunan Lamongan, ketiganya putra Sunan Ampel, berdarah bangsawan Champa dan Tuban. Sunan Kalijaga ( berdarah Tuban), Sunan Giri ( berdarah Blambangan ), dll. Namun siti jenar tidak pernah memperdulikan hal itu. Ilmu dan fikiran dia hanya untuk Allah saja. Dia tidak pernah peduli dengan politik atau kekalifahan ataupun cari nama.

Istilahnya ‘Lu sebut gue apa aja gue sih terima. Gue gada urusan ama yang begituan.” Hal ini berbeda sekali dengan jalan fikiran pawa wali yang ingin membentuk kekhalifan di bumi jawa saat itu. Sehingga sangat mementingkan nama dan gelar.

Suasana damai antara penganut Islam, Hindhu dan Buddha, lama-lama mulai goncang. Syeh Siti Jenar tidak menyukai hal ini. Dimana-mana, aksi sepihak dari ummat Islam membuat suasana menjadi panas. Penganut Hindhu dan Buddha yang selama ini merasa damai bersanding dengan penganut agama Islam ini, mulai terusik.

Syeh Siti Jenar protes ke Sunan Ampel. Namun Sunan Ampel meyakinkan, semua masih wajar dan tidak berlebihan. Kebetulan Sunan Kali jaga juga protes tentang hal ini.

Kubu yang militan dan merasa dirinya paling benar dalam mengikuti Al-Qur'an dan Hadist dipimpin Sunan Giri, Sunan Giri menyatakan, siapa saja yang menolak pergerakan ummat Islam yang tengah gencar-gencarnya saat ini, sama saja menjalankan ajaran bid'ah. Kafir. Sunan Giri mengklaim, golongannya adalah golongan PUTIHAN (Kaum Putih), dan yang tidak sepaham dengan golongannya, di tuduh sebagai penganut bid'ah, golongan ABANGAN (Kaum Merah).



Karena protes tidak di indahkan oleh sunan ampel Sheik Siti Jenar menyatakan keluar dari wali sanga.



Tahun 1475 Syarif Hidayatullah bersama ibunya Syarifah Muda'im, datang dari Mesir ke Cirebon. Syarifah Muda'im adalah nama muslim Dewi Rara Santang. Dia adalah adik kandung Pangeran Cakrabhuwana, penguasa Carbon Girang. Oleh Sunan giri beliau diangkat menjadi wakil islam untuk daerah Jawa bagian Barat. Dengan gelar Sunan Gunung Jati.

Maka daerah Jawa bagian barat ada 2 pimpinan besar yang saling berhadapan. 2 matahari kembar yang memimpin umat islam. Sehingga suasana menjadi panas.

1478 Sunan Ampel wafat. Dewan wali pun dipimpin oleh Sunan Giri. Sehingga dia punya kuasa mutlak untuk membawa arah islam di jawa saat itu. wali sanga bergabung dengan demak untuk mewujudkan kekalifahan islam pertama di pulau jawa dengan mendirikan Kesultanan Demak.

Mereka mulai sibuk dengan operasi-operasi militer untuk mengambil wilayah-wilayah Majapahit. Praktis rakyat kecil, yang dulu merasakan taraf hidup yang mapan pada saat Majapahit berkuasa, kini, pelahan-lahan, berada dalam ketidak pastian karena ekonomi terganggu dan stabilitas menjadi kacau.

Banyakeperangan terjadi. Di jawa bagiat barat Cirebon bergabung dengan Banten mencoba menaklukan kerajaan Pajajaran yang hindu. Sehingga daerah sekitar pesantrean Sheik Siti Jenar tidak nyaman lagi.

Menghadapi keadaan ini sheik siti jenar berminat untuk memindahkan pesantrennya. Maka beliau mencari daerah untuk dibuat pesantren barunya. Yang dicari adalah daerah pedalaman. Jauh digunung. jauh dari kekacauan perang di jawa barat. Dan yang dicari adalah Jawa tengah.

Kebetulan pada tahun 1490 Masehi, Ki Ageng Pengging, penguasa daerah Pengging ( sekitar Surakarta, Jawa Tengah), yang masih berusia 21 tahun, menawarkan daerah Pengging sebagai tempat baru pesantren beliau.



Sunan kalijaga yang dekat dengan siti jenar memperingatkan hal ini, karena ki ageng pengging adalah keturunan majapahit langsung dan sedang dalam pengawasan kesultanan Demak. Hal ini berbahaya bagi sheik siti jenar.

Karena dalam silsilah Majapahit, Pengging adalah pewaris sesungguhnya tahta Majapahit, bukan Raden Patah. Jadi jika sampai Demak tahu ada hubungan khusus antara Syeh Siti Jenar dengan Pengging, maka pasti akan dicurigai sedang membangun kembali kerajaan Majapahit.



Namun sheik siti jenar ternyata sudah terlalu dekat dengan ki Ageng pengging. Dan kisahnya tercatat dalam Pupuh (Bait-Bait) Tembang Jawa seperti dibawah ini :



Satedhaking Majalengka,

Kalawan dharahing Pengging,

Keh prapta apuruhita,

Mangalap kawruh sejati,

Nenggih Ki Ageng Tingkir,

Kalawan Pangeran Panggung,

Buyut Ngerang Ing Betah,

Lawan Ki Ageng Pengging,

Samya tunggil paguron mring Siti Jenar.



Seluruh keturunan Majalengka ( Majapahit ),

Termasuk keturunan dari Pengging,

Banyak yang terpikat oleh beliau,

Datang menimba ilmu pengetahuan sejati,

Seperti Ki Ageng Tingkir,

Juga Pangeran Panggung,

Buyut Ngerang dari daerah Butuh,

serta Ki Ageng Pengging,

Menjadi satu paham dengan beliau.



Syeh Siti Jenar yang memang tidak peduli peta politik Jawa saat itu. Walau terpaut usia yang cukup jauh, Syeh Siti Jenar tak segqan-segan mengajak Ki Ageng Pengging berdiskusi masalah 'spiritual'.

Dan Laporan kedekatan Syeh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging pun masuk ke telinga Raden Patah, Sultan Demak dan Sunan Giri.

Dan fatwa Sunan Giri, beda tipis dengan perintah Patah. Menjelang tahun 1497 Masehi, Sunan Giri, atas nama Pemimpin Dewan Wali Sanga, memerintahkan Sultan Syah Alam Akbar, yaitu Sultan Demak dan Sultan Carbon, yang tak lain Sunan Gunungjati, untuk menangkap Syeh Siti Jenar.

Pemerintahan Demak dan Carbon, merespon perintah Dewan Wali tersebut. Sultan Demak segera menitahkan Sunan Kudus, Senopati Agung Demak Bintara untuk pergi ke Cirebon, membawa pasukan sebanyak 700 orang untuk menangkap Syeh Siti Jenar.

Pasukan Cirebon ikut bergabung dalam barisan pasukan Demak menuju Pesantren Syeh Siti Jenar bermukim, perlawanan terjadi. namun tidak seberapa.

Sunan Kudus, dengan menunjukkan surat perintah dari Sultan Demak, meminta Syeh Siti Jenar bersedia ditangkap dengan tuduhan telah menggalang gerakan makar kepada pemerintahan yang sah dan telah menyebarkan ajaran yang menyimpang kepada ummat Islam.

Syeh Siti Jenar dengan tenang menyatakan kesediaannya untuk ditangkap.

Beberapa hari kemudian Sunan Kalijaga datang. dan meminta izin bertemu dengan Syeh Siti Jenar. Sunan Kudus tidak memberikan ijin. Tapi, Sunan Gunungjati, meminta Sunan Kudus agar memberikan kelonggaran bagi Sunan Kalijaga. Akhirnya, Sunan Kudus memberikan ijin juga.

Di Dalem Agung, dimana Syeh Siti Jenar ditahan, mereka berdua berpelukan erat. Sunan kalijaga menganggap sheik siti jenar kakak kandungnya sendiri, Meteka berdua sepaham dan tahu situasi saat itu.


Syeh Siti Jenar, berpesan kepada Sunan Kalijaga agar terus berjuang menegakkan Islam yang toleran, yang penuh kasih, bukan Islam yang kolot, kaku dan dangkal. Mengapa kita saling merasa paling benar? Dan yang merasa paling benar adalah mereka yang baru mempelajari kulit Islam, kulit Hindhu, kulit Buddha dan kulit Kristen. Mereka belum menemukan 'Puncak Kesadaran' yang seharusnya mereka cari. Yang menjadi tujuan pengajaran Krishna, Buddha, Jesus dan Muhammad. Mereka mengajarkan semua manusia untuk itu, bukan mengajarkan kulit luar yang berbeda-beda. Kulit luar hanya sekedar metode. Kulit luar hanya sebuah alat, sebuah sarana, untuk mencapai tujuan ini!

Beberapa hari kemudian, datanglah rombongan Dewan Wali ke Carbon. Mereka langsung menuju ke Istana Pakungwati. Dibawah pimpinan Sunan Giri, Para Wali memutuskan untuk mengadili Syeh Lemah Abang di Masjid Agung Ciptarasa.

Dan saat pengadilan dilaksanakan Sunan Kudus berperan sebagai Jaksa, dan Hakim dipegang oleh Sunan Giri.

Hampir seharian penuh, pengadilan berlangsung. situasi mencekam. Menjelang malam tiba, Syeh Siti Jenar digiring ke halaman Masjid Ciptarasa. Dihalaman Masjid Ciptarasa Sunan Kudus sendiri yang menjalankan eksekusi hukuman mati, memenggal kepala Syeh Siti Jenar. Dan Syeh siti jenar wafat saat itu juga.

Sunan Kalijaga menitikkan air mata. Dan segera, memerintahkan pasukan Demak, merawat jasadnya . Jenasah dikebumikan di Kampung Kemlaten. Namun dikemudian hari, jenasah dipindahkan ke Giri Amparanjati atas perintah Sunan Gunungjati.



Kejadian ini ditulis dalam Sêrat Cênthini Jilid I, (Pupuh 38, Syair 14 hingga 44)



Ki Ageng Pengging, menyusul kemudian hari dieksekusi oleh Sunan Kudus di rumahnya di pengging Surakarta.





Sumber:
Sêrat Cênthini Jilid I
damar-shashangka.blogspot.com
Babad tanah jawa