Pada saat ini hampir disetiap rumah memiliki televisi sebagai salah satu media informasi. Televisi merupakan media elektronik yang tidak hanya memberikan visualisasi saja tetapi juga suara. Apalagi sekarang ini informasi dari berbagai wilayah sangat mudah didapat termasuk di luar negeri. Selain sebagai media informasi, televisi juga merupakan media hiburan.
Televisi tidak lagi menjadi medium massa namun lebih merupakan medium peminat khusus. Ada saluran-saluran untuk mereka yang menyukai politik, sains, komedi, masak memasak, atau berbelanja. Ada juga saluran-saluran dalam bahasa Inggris, Latin, Cina, serta bahasa-bahasa lain. Walaupun demikian tidak satupun saluran sepenuhnya melayani kebutuhan pendidikan dan informasi anak-anak dari tingkat-tingkat usia yang berkaitan. Televisi umum seringkali terikat pada jadwal waktu penayangan, ketika acara anak-anak harus bersaing memperebutkan pangsa masa tayang yang sama dengan program orang-orang dewasa.
Dalam revolusi teknologi mendatang, terlalu dini untuk melihat apakah saluran-saluran pendidikan yang dipersembahkan bagi anak-anak akan benar-benar untung, mengingat keuntungan komersial mereka tidak jelas dan pendanaan publik terasa meragukan. Agaknya yang lebih mungkin dikembangkan adalah saluran pendidikan yang mendapatkan dukungan-dukungan para pemasang iklan, yang menawarkan program-program, produk-produk dan jasa-jasa bagi para orang tua yang tengah berusaha mengatasi berbagai masalah keorangtuaan kontemporer, seperti mempunyai anak pada usia senja, atau menangani akibat-akibat konflik antara mengejar karir dan membesarkan anak.
Anak-anak dan televisi adalah perpaduan yang sangat kuat, sebagaimana diketahui benar pemasang iklan, pendidik, khususnya anak-anak serta orang tua mereka sendiri. Acara TV sangat berpengaruh besar terhadap anak. Setiap minggu kerumunan anak-anak sebaya mereka betah dirumah karena punya acara favorit dari pukul 06.00 sampai pukul 10.00 yaitu diputarnya film anak-anak secara marathon pada setiap saluran TV, membuat anak tetap terpaku didepan layar kaca sedikitnya empat jam non stop.
Kebiasaan anak ini membuat para orang tua prihatin karena jenis acara yang ditonton, lamanya waktu yang dihabiskan, dan muatan nilai yang telah terserap kedalam pikiran dan perilaku mereka itu belum tentu sesuai dengan kebutuhannya, walaupun berdalih dikemas dalam tayangan berlabel dunia anak. Apalagi tayangan lainnya yang semula secara tidak sengaja tertonton akhirnya malah digemari pula oleh anak. Perlu disusun strategi agar anak tidak terkena pengaruh buruk dari televisi tersebut.
Perkembangan anak tidak terasa sebagai akibat posisi duduk mereka statis dalam waktu lama, kebiasaan nonton TV dengan jarak dekat dapat mengakibatkan daya penglihatan mata berkurang, mudah lelah, bahkan kadang mengganggu jadwal makan, mandi, dan tidur anak, sehingga secara tidak langsung kesehatan mereka terganggu.
Menurut suatu penelitian sebanyak 25% dari anak umur 3,5 dan 4 tahun mengalami gangguan lambat bicara, sulit mengungkapkan sesuatu, dan tidak mengerti jika diajak bicara. Penyebabnya ternyata terlalu banyak menonton TV sehingga ia sedikit berbicara. Hal ini bisa terjadi karena anak yang diajak berdialog oleh ibunya ia akan mendapat stimulasi dari mimik muka, kata-kata dan sentuhan , dibandingkan bila dilakukan oleh tv, tidak terjadi interaksi yang hidup. Ada juga yuang mengalami rentang perhatian pendek, kurang konsentrasi terhadap lngkungan sekitarnya.
Para pecandu tv pada umumnya kurang berminat membaca atau kurang mengembangkan keterampilan membaca. Sesungguhnya dengan banyak membaca membuat anak kaya akan kosa kata, punya pemahaman untuk menghubungkan alur cerita, aktif berfikir, belajar berkonsentraasi dan mendapat berbagai pengetahuan yang sifatnya dapat dibaca ulang, ddan mempertajam kekritisan. Akibat anak terbiasa menonton, ia ccenderung berpola pikir sederhana, searah, tidak kritis, kurang kreatif, kurang sabar, dan tidak bisa mengembangkan imajinasi. Prestasi sekolah pun menurun karena malas membaca buku pelajaran.
Tayangan yang berbau kekerasan dan makian dari film kartun ataupun laga seperti Panji Milinium atau Saras 008 misalnya, dapat dengan mudah ditiru oleh anak, sebab tv menyampaikan gambar dan pesan yang seolah-olah nyata, sekaligus dianggap cara yang umum untuk penyelesaian oleh si anak. Tidak sedikit anak menendang, meninju, memukuul saudaranya, ibu, teman di sekolah tampa sebab karena ingin mencontoh jagoan di tv. Lontaran umpatan dan makian anak yang meniru tayangan tersebut, merupakan bagian dari agresivitas kata-kata.
Lambat laun sosok yang disuguhkan tv secara kontinyu (dibuat bersambung) ini, menjadi kebiasaan perilaku sehari-hari. Anak melhat dunia secara hitam-putih saja, tanpa mampu melihat realita beragamnya nuansa kehidupan, menumpulkan kepekaan perasaan, kurang bisa mencari alternatif pemecahan masalah diri dan lingkungannya.
Tayangan bertema adegan yang menyeramkan muncul makhluk-makhluk aneh, membuat anak sulit membedakan mana khayalan dan mana kenyataan, si anak mengira makhluk itu ada dan akan mengganggu dia, biasanya terbayang teerus dalam ingatan,membuat anak takut oleh sesuau yang semestinya tidak perlu ditakutkan.
Kurang sosialisasi (pergaulan) beerawal dri hubungan kausal (sebab-akibat), tidak adanya teman sebaya di lingkungan rumah, hidup di kawasan terpencil, khawatir situasi kurang aman, dikucilkan teman, hidup di lingkungan kurang kondusif (misal dekat perjudian, banyak anak yang nongkrong, pemabuk, dll), dilarang orang tua banyak bermain di luar rumah, diperparah interaksi yang kurang dengan orang tua sehingga pelarian si anak lebih suka bermain sendiri atau tenggelam asyik di depan layar kaca.
Banyaknya sajian telenovela, sinetron, dan lagu orang ewasa bertemakan kekerasan, percintaan, perselingkuhan dan pergaulan bebas, iklan yang memamerkan aurat wanita, yang diputar pada jam anak msih terjaga, beresiko mereka menyerap perilaku negatif orang dewasa, terlalu cepat kehilangan dunia anak, karena terkontaminasi acara dewasa.
Di Indonesia saat ini, tidak ada usaha serius dari pihak stasiun pemerintah dan stasiun swasta, khususnya political will pemerintah untuk menertibkan dan mengatur waktu acara anak, gelombang frekuensi siaran terpisah bagi anak dan dewasa. Target waktu penayangan aara ditujukan untuk membidik penonton sebanyak-banyaknya dari segala lapisan umur, saling berlomba-lomba membuat rating tertinggi pilihan pemirsa sekaligus mencari keuntungan dari banyaklnya pemasukan iklan, tidak peduli walaupun aaranya tidak bermutu daari segii pendidikan untuk anak, yang penting menjual tontonan bukan tuntunan.
Aktifitas sehari-hari yang dilakukan anak (shalat, belajar, mengerjakan PR, membantu orang tua, dll) biasanya hanyalah sisa waktu setelah menonton tv, bersifat sering menunda pekerjaan, dan tergesa-gesa karena jadwal sehari0hari selalu berubah disesuaikan dengan jam acara kesayangannya.
Ada beberapa alternatif pilihan agar anak mendapat manfaat positif dari tayangan tv. Hal ini tergantung dari sikap orang tua untuk berpartisipasi aktif. Karena terlalu banyak program acara yang ditawarkan, harus dibuat pilihan tema yang paling aman dan sesuai untuk anak, bisa dimusyawarahkan bersama, atau orang tua menonton terlebih dahulu beberapa alternatif piihan, lalu anak disuruh memilih. Jadi,orang tua berfungsi sebagai badan sensor. Oran tua harus mengklasifikasikan tayang mana yang bisa ditonton sendiri oleh anak, harus dilihat bersama orang tua, dan tidak boleh ditonton sama sekali oleh anak.
Upayakan mendampingi anak menonton, orang tua bisa berkreasi sendiri, berpartisipasi aktif bertanya atau meneerima pertanyaan anak, mengarahkan anak, menambah kosa kata, melatih daya imajinasi dengan menggambar apa saja yang dilihatnya, menerangkan kata-kata yang tidak mengeerti, dan mendiskusikan hasil yang ditonton memberi penilaian akhlak seorang muslim apa yang seharusnya dilakukan dan tidak.
Freekuensi menonton harus dibatasi dari segii jumlah mata acara dan durasi (waktu) penayangan. Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) Semarang (1984), meneliti rata-rata anak di Semarang menghabiskan waktu 4 jam sehari di depan tv, selebihnya malah 6,5 - 9,5 jam perhari. Sekiar tiga perempat waktu anak dalam sehari, disamping pergi sekolah, tidur, dll, dihabiskannya di depan tv.
Setengah sampai satu jam itu sudah cukup bagi anak untuk memnonton tv,karena yag harus lebih diperhatikann adalah waktu merekan untuk bermain bersama teman, kakak, atau ibu, si anak tidak pasif tapi jadi partisipan, dan bisa berkomunikasi. Bila orang tua melarang anak menonton tv, maka orang tua pun harus konsukuen untuk ikut berhenti.
Disarankan untuk anak prasekolah sama sekali tidak menonton tv, krena karakteristik anak sebaya mereka mudah meniru perilaku sekitarnya, sering betanya sebagai proses belajar mereka terhadap apa yang dilihatnya, mempunyai kemampuan mengingat yang tinggi, mencari tokoh identifikasi, masa pembentukan dasar stabilitas emosi, intelektual, dan agama dikemudian hari. Alangkah sayangnya masa yang penting dan singkat ini, bila dijejali dengan sumber informasi yang tidak perlu dan tidak berkaitan langsung dengan stimulasi dasar agama, emosi dan pengetahuan yang sesuai dengan reealitas kehidupan dan bisa dimanfaatkan kelk menjadi anak yang shaleh.
Salah seorang konsultan California mengamati perilaku anak-anak berprestasi di sekolah, rata-rata mereka menghabiskan waktu 25 – 35 jam untuk kegiatan belajar yang terpusat pada rumah, semisal mengerjakan pekerjaan rumah, membaca, bermain, olah raga, tugas-tugas rumah atau acara di luar rumah bersama seluruh anggota keluarga.
No comments:
Post a Comment