Friday, 24 February 2012

Amparita : negeri orang-orang selatan



Amparita, begitulah namanya sebuah kampung yang tak jauh dari keramaian kota Pangkajene SIDRAP. Terletak di kecamatan Tellu Limpoe, sekitar 8 kilometer dari Pangkajene. Sangat mudah dijangkau karena jalan menuju tempat ini berkondisi mulus sebab jalur yang melintasi Amparita termasuk jalan poros Pangkajene-Soppeng. Jalanan yang menghubungkan dengan desa-desa tetangga juga relatif bagus.

Di tempat ini kita bisa melihat ibu-ibu bersarung ke pasar sambil membawa bawaannya di kepala. Juga bapak-bapaknya yang bersarung di jalan raya. Ibu dan bapak-bapak ini merupakan komunitas Hindu satu-satunya di Sulawesi Selatan. Sebetulnya bukan Hindu, tetapi oleh masyarakat disana sudah biasa disebut hindu, dan orang-orang ini sering juga disebut To Lotang (orang-orang selatan).

Jangan berharap ada candi atau pura disini, satu satunya landmark yang ada Cuma patung Bau Masseppe pahlawan Nasional Sidrap di pasar sentral Amparita . Menurut sejarahnya mereka adalah orang-orang yang terusir dari tanah airnya..
Abad ke 17, Islam menjadi agama resmi di hampir semua kerajaan di Sulawesi Selatan, tidak terkecuali Kerajaan Wajo (1610). Matoa Wajo ketika itu langsung mengistruksikan kepada rakyatnya untuk memeluk agama yang baru tersebut. Namun sekelompok masyarakat yang tinggal di kampung Wani ingin mempertahankan kepercayaan yang sudah dianutnya secara turun temurun. Melihat pembangkangan orang Wani maka Matoa Wajo mengusir orang-orang tersebut keluar dari kampungnya, dan tidak memperbolehkan mereka tinggal dalam wilayah kerajaan Wajo.

Dan orang-orang Wani pun keluar meninggalkan kampungnya. Exodus ini terbagi atas dua rombongan yang dipimpin oleh I Paqbere dan I Goliga. (Ipabbere adalah seorang perempuan, makamkan saat ini ada di Perinyameng, sebuah daerah di sebelah barat Amparita. Makam Ipabbere inilah yang kemudian selalu dikunjungi dan ditempati untuk acara tahunan komunitas ini.)

Setelah berhari-hari berjalan ia melewati beberapa kerajaan di luar Wajo dan meminta untuk bermukim di wilayah tersebut akan tetapi tak ada yang memberinya lahan, karena kerajaan-kerajaan Bugis waktu itu sudah Islam. Akhirnya orang-orang Wani ini memasuki wilayah Amparita yang merupakan bagian Kerajaan Sidenreng. Orang-orang Wani yang sudah kelelahan dan kelaparan meminta izin kepada raja agar diperbolehkan tinggal di daerahnya, Addatuang Sidenreng saat itu tidak tega melihat mereka terlunta-lunta sehingga berbaik hati untuk memberikan tempat tinggal untuk orang-orang terusir itu di bagian selatan kerajaannya, yaitu di wilayah Amparita. Disini mereka hidup tentram dibawah lindungan Addatuang Sidendreng. Mereka saatini sering disebut dengan nama Tolotang atau orang selatan (to = orang, lotang = lautang =selatan).

Kelompok ini bertempat tinggal di sebelah selatan jalan raya (benteng) dalam kerajaan. Orang To Lotang dikenal dua kelompok. Kelompok pertama adalah Tolotang Towani yang hindu dan To lotang Benteng (sekarang lautang Benteng di kec. MARITENGNGAE ) yang menganut agama Islam.

Sejak tahun 1966, kepercayaan orang Tolotang kemudian diakui sebagai salah satu agama setelah ia terdaftar sebagai salah satu sekte dalam agama Hindu. Pengakuan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Beragama Hindu Bali dan Budha, No.2 Tahun 1966, tertanggal 6 Oktober 1966. Surat Keputusan tersebut di sempurnakan kemudian dengan Surat Keputusan No. 6 Tahun 66, tertanggal 16 Desember 1966.

Setiap tahun selalu saja ada upacara yang digelar di daerah Amparita dan sekitarnya, misalnya di Otting dan Bacukiki (masuk wilayah Kota Pare-pare). Acara adat tahunan yang dilaksanakan setiap bulan Januari itu juga merupakan pesan dari Ipabbere, sebab beliau berpesan ke anak cucunya bahwa jika kelak ia meninggal, kuburnya harus diziarahi sekali setahun.

Amparita secara administratif berbentuk kelurahan dan dipimpin oleh lurah yang diangkat oleh Bupati. Di sebelah timur, kelurahan Amparita berbatasan dengan dengan Desa Teteaji, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Allakuang dan Toddang Pollu, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Masseppe dan sebelah utara berbatasan dengan Arateng. Dari catatan BPS Kabupaten Sidenreng Rappang tahun 2005, luas wilayah Amparita adalah 6, 69 km2 . Pada musim kemarau seperti sekarang ini kawasan Amparita dan sekitarnya tampak berdebu, kering, kusam, dan sangat panas.

Kebanyakan penduduk Amparita saat ini adalah petani karena Tanah di kawasan Amparita dan secara umum di Sidenreng Rappang memang cocok untuk lahan pertanian. dari segi ekonomi, sejauh pengamatan sekilas saya, bisa dikatakan bahwa kalangan pemeluk tolotang—terutama elit-elitnya—adalah orang yang cukup berada. Mereka punya modal ekonomi dan modal sosial yang lebih dari memadai. Ada yang jadi pengusaha ternak sukses yang punya 7000 ayam petelor yang bisa punya omset sekitar 60 juta tiap bulan. Ia juga pernah menjadi anggota DPRD kabupaten selama dua periode. Ada yang mempunyai tiga buah usaha penggilingan padi besar di Pangkajene. Bahkan pada periode 2004-2009 ada dua pemeluk Tolotang yang menjadi anggota DPRD di kabupaten Sidenrang Rappang ini.

“Sebagai komunitas yang terbuka, memang tidak menutup kemungkinan ada warga kita yang keluar dari Tolotang. Memang dipersilakan. Tidak dipermasalahkan. Tapi sebaliknya, juga demikian. Ada juga penganut lain yang mau bergabung dengan kami. Hanya memang, hal itu sangat sulit. Bahkan, bisa jadi tidak bisa. Sebab, prinsip kami, Tolotang tidak berkembang dengan menerima orang lain. Kami tidak pernah seperti itu. Kita berkembang berdasarkan anak cucu.

Komunitas ini bertahan hingga kini, juga karena adanya doktrin dari nenek moyang kepada keturunannya. Sejak kecil, anak-anak Tolotang sudah diberi pemahaman dan pesan khusus soal Towani Tolotang. Para Wa-lah yang paling berperan untuk memberi pemahaman. Wa dikami ibarat ustad di Islam. Merekalah yang mengambil peran dalam memberi pencerahan agama di tolotang. Meski demikian, seiring perkembangan zaman, ada juga beberapa warga kami yang akhirnya berubah. Ada yang memeluk Islam.
Bahkan, banyak yang sudah berhaji. Setelah berpindah agama, tidak ada lagi kewenangan mereka di Tolotang. Pernikahan juga menjadi salah satu pemicu adanya pergeseran ini. Dan kami memang cukup ketat soal itu. Semua yang menikah di luar Tolotang, termasuk Islam, berarti sudah keluar. Mereka tidak diakui lagi,” kata Wa Eja, seorang tokoh masyarakat di Tolotang.

3 comments:

  1. pengetahuan yang bagus tentang Amparita...
    buat sang penulis artikel diatas ... saya sdikit mengkoreksi soal paragraph kedua.... Hindu bukan hanya di amparita bila kita berbicara soal Sulawesi Selatan. Ada juga Hindu di Daerah Tana Toraja tepatnya di Kecamatan Simbuang. cuma mmg populasi masyarakat penganut Aluk Todolo (Hindu Toraja) tidak terlalu banyak.

    ReplyDelete
  2. Maaf saya cuma bertanya hindu tolotang yg berada didesa amparita apakah mempunyai tempat beribadah ... ?

    ReplyDelete