“Tidak ada orang Banjar jika tidak ada jukung.”
Banjarmasin sebagai kota seribu sungai tidak bisa dipisahkan dari perahu. Sebagai kendaraan rakyat yang sangat ramah lingkungan ini ternyata sudah tersisihkan kemajuan zaman. sayang memang..
Melihat kembali Banjarmasin tempo doeloe ternyata menarik terutama mengamati perahu atau jukung mereka saat itu. Ternyata perahu kecil model jukung di banjarmasin zaman baheula sangat artistik bentuknya dibandingkan sekarang. Model dan gayanya sangat klasik dan bermacam-macam ada yang ada atapnya dan lebar-lebar juga.
Dibandingkan yang saat ini ada ternyata jauuuhhh sekali beda dan selera seninya.
Budaya jukung sebenarnya dikenal pada 2000 tahun sebelum masehi, yaitu dari migrasi pertama orang-orang proto melayu (melayu tua) dari Sungai Mekong, Yunan, Cina Selatan ke Kalimantan. Saat itu para imigran dari proto melayu yang merupakan asal usul suku Dayak, telah mengenal peralatan dari logam. Baru pada abad 6-7 pembuatan jukung semakin berkembang di Kalimantan.
Dahulu diketahui banyak jenis jukung yang dikenal berdasarkan fungsi dan kegunaannya. Jukung dibuat selaras dengan kondisi alam Kalimantan pada waktu itu. Yang paling tua jenisnya diperkirakan adalah jukung sudur. Jukung ini menjadi pondasi terciptanya jukung-jukung jenis baru
Perkembangan jukung yang sampai ke Kalsel akhirnya menjadi identitas budaya saat berdirinya kerajaan Dipa di Amuntai, lalu kerajaan Daha di Negara, Hulu Sungai Selatan, hingga kerajaan Banjar di Kuin, yang menjadi tonggak lahirnya Suku Banjar. Budaya sungai dan alat transportasinya tidak bisa dipisahkan dalam sistem sosial masyarakat Banjar ketika itu.
Sah saja tentunya jika sebuah idiom menyebut “Tidak ada orang Banjar jika tidak ada jukung.” Sebab sejarah mencatat, Kerajaan Banjar di Kuin lahir setelah Pangeran Samudera lari mengasingkan diri menggunakan jukung dari Daha di Negara.
Foto ini didapatkan dari Koleksi Musium Tropen, Belanda.
foto-foto lama Banjarmasin ini, sekitar tahun 1880 sampai 1940.
No comments:
Post a Comment