Friday, 24 February 2012
JOURNEY TO CELEBES : Mengenal agama Tolotang Sidrap
Di Kabupaten Sidrap ada komunitas Hindu yang menganut kepercayaan yang sebetulnyamirip agama Hindu tetapi bukan hindu. Karena agama mereka ini bukan berasal dari India. Jika kita pernah membayangkan teori Oppeheimer tentang manusia atlantis yang hilang entah kemana maka cerita tentang asal usal usul agama To Lotang ini mungkin akan terlihat nyambung. Soal kebenarannya wallahualam.
To Lotang atau To Wani merupakan istilah yang pertama kali diucapkan oleh La Patiroi, Addatuang Sidenreng VII, untuk menyebut pendatang yang berasal dari arah Selatan, yaitu Wajo. Dimana To Lotang terdiri atas 2 (dua) kata yaitu kata To (bahasa Bugis) yang berarti orang dan kata lotang yang berasal dari bahasa Bugis Sidrap yakni Lautang yang berarti Selatan.
Penganut Tolotang percaya bahwa manusia pertama dibumi ini sudah musnah. Adapun manusia yang hidup sekarang adalah manusia periode kedua, setelah manusia pertama musnah. Menurut buku I Lagaligo begini ceritanya..
Suatu ketika, PatotoE (Dewata SeuwaE) tertidur lelap. Ketiga pengikutnya yang dipercayakan menjaganya, yakni Rukkelleng, Rumma Makkapong dan Sangiang Jung, pergi mengembara ke dunia lain. Ketika mereka sampai di bumi, ketiganya melihat bahwa ada dunia kosong. Sekembalinya dari pengembaraan, ketiganya bertemu dengan PatotoE, lalu menceritakan pengalaman yang mereka saksikan, bahwa masih ada dunia yang kosong. Mereka usulkan agar diutus seseorang untuk tinggal di dunia kosog itu. Rupanya PatotoE tertarik dengan cerita tersebut. PatotoE lantas berunding dengan istrinya Datu Palinge dan seluruh pimpinan di negeri Kayangan. Setelah istrinya setuju, maka diutuslah Batara Guru turun ke bumi. Masyarakat sekarang menyebutnya Batara Guru sebagai Tomanurung.
Setelah beberapa lama di bumi, Batara Guru merasa kesepian. Ia minta agar diturunkan satu manusia lagi ke bumi. Maka turunlah I Nyili Timo, putri dari Riseleang. Batara Guru kemudian kawin dengan I Nyili Timo. Hasil dari perkawinannya tersebut membuahkan seorang putra, namanya Batara Lettu. Setelah Batara Lettu dewasa, ia kemudian dikawinkan dengan Datu Sengngeng, putri dari Leurumpesai.
Hasil perkawinannya melahirkan dua anak kembar, satu putra dan satu putri. Yang putra bernama Sawerigading sedangkan yang putri bernama I Tenriabeng.
Sawerigading kemudian kawin dengan I Cudai, salah seorang putri raja dari Cina. Hasil perkawinannya membuahkan seorang anak, yang bernama Lagaligo.
Pada masa Sawerigading, negeri makin aman. Penduduk sangat tunduk pada perintahnya. Setelah Sawerigading meninggal, masyarakat menjadi kacau. Terjadi pertengkaran dimana-mana hingga banyak menelan korban. Peristiwa tersebut membuat Dewata SeuwaE marah. Dewata lantas menyuruh semua manusia agar kembali ke asalnya, maka terjadilah dunia kosong.
Setelah sekian lama dunia kosong, PatotoE kembali mengisi manusia di bumi ini sebagai generasi kedua. Manusia yang diturunkan oleh PatotoE inilah yang akan meneruskan keyakinan yang dianut oleh Sawerigading sebelum dunia dikosongkan oleh PatotoE.
Dalam keyakinan penganut Tolotang, ajaran Dewata SeuwaE itu diturunkan sebagai Wahyu pada La Panaungi. Wahyu yg didengar La Panaungi sbb : Berhentilah bekerja, terimalah ini yang saya katakan. Akulah DewataE, yang berkuasa segala-galanya. Aku akan memberikan keyakinan agar manusia selamat di dunia dan hari kemudian. Akulah Tuhanmu yang menciptakan dunia dan isinya. Tetapi sebelum kuberikan wahyu, bersihkanlah dirimu. Setelah wahyu ini diterima, sebarkanlah pada anak cucumu.
Suara itu turun tiga kali berturut-turut. Untuk membuktikan keyakinan yang diberikan itu, DewataE membawa La Panaungi ke tanah tujuh lapis dan ke langit tujuh lapis untuk menyaksikan kekuasaan DewataE pada dua tempat, yakni Lipu Bonga, yang merupakan tempat bagi orang-orang yang mengikuti perintah DewataE.
Ajaran yang diterima oleh La Panaungi ini kemudian disebarkan pada penduduk, hingga banyak pengikutnya. Dalam ajaran Tolotang, pengikutnya dituntut mengakui adanya Molalaleng yakni kewajiban yang harus dijalankan oleh pengikutnya.
Kewajiban dimaksud adalah : Mappianre Inanre, yakni persembahan nasi/makanan yang dipersembahkan dalam ritus/upacara, dengan cara menyerahkan daun sirih dan nasi lengkap dengan lauk pauk ke rumah uwa dan uwatta.
Tudang Sipulung, yakni duduk berkumpul bersama melakukan ritus pada waktu tertentu guna meminta keselamatan pada Dewata. Sipulung, berkumpul sekali setahun untuk melaksanakan ritus tertentu di kuburan I Pabbere di Perrinyameng. Biasanya dilakukan setelah panen sawah tadah hujan. Menyangkut kejadian manusia, Tolotang juga mengenal empat unsur kejadian manusia, yakni tanah, air, api dan angin.
Dalam acara ritual, keempat unsur tersebut disimbolkan pada empat jenis makanan yang lebih dikenal dengan istilah Sokko Patanrupa (nasi empat macam).
Yakni nasi putih diibaratkan air, nasi merah diibaratkan api, nasi kuning diibaratkan angin dan nasi hitam diibaratkan tanah. Itulah sebabnya, setiap upacara Mappeanre atau Mappano Bulu, sesajiannya terdiri dari Sokko Patanrupa.
Sebelum La Panaungi meninggal, ia sempat berpesan untuk meneruskan ajaran yang ia terima dari DewataE dan minta agar pengikutnya berziarah ke kuburannya sekali setahun. Itulah sebabnya, kuburan La Panaungi telah banyak diziarahi pengikutnya setiap saat. Penganut agama Tolotang ini sempat berkembang, tetapi pada abad ke-16,ketika Islam berpengaruh di beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan, jumlah penganut Tolotang cenderung menurun karena hampir semua kerajaan bugis masuk Islam.
Pada Tahun 1609, Addatuang Sidenreng, La Patiroi dan mantunya La Pakallongi, secara resmi menerima Islam sebagai agamanya dan menjadikannya sebagai agama kerajaan. Dan tahun 1610 di Wajo kerajaan Batu pun masuk Islam sehingga semua rakyatnya diwajibkan masuk Islam. Orang-orang Wani semua menolakmasukIslam sehingga mereka diusir dari tempat tinggalnya dan mengungsi ke tempat lain yang mau menerima mereka.
dipimpin oleh I Goliga dan I Pabbere, meninggalkan tanah leluhurnya, Wajo dan hijrah ke Tanah Bugis lainnya. I Goliga akhirnya tiba di Bacukiki, Parepare dan I Pabbere sampai di Amparita yang kemudian mengadakan perjanjian Adek Mappura Onrona Sidenreng dengan La Patiroi.
Akhirnya I Pabbere diberikan izin untuk menetap di Loka Popang (susah dan lapar), sebelah selatan Amparita, dengan syarat :
1. Adat Sidenreng tetap utuh serta harus dipatuhi
2. Keputusan harus dipelihara
3. Janji harus ditepati
4. Suatu keputusan yang telah berlaku harus lestarikan
5. Agama Islam harus diagungkan dan dijalankan.
Setelah rombongan I Pabbere menetap dan bertani di Loka Popang, kemudian nama tersebut diganti dengan nama Perrinyameng, yang berarti setelah susah datanglah senang.
Di tempat inilah, I Pabbere meninggal dunia yang kemudian juga dimakamkan di Perrynyameng. Dalam versi lain disebutkan bahwa pendiri Toani Tolotang adalah La Panaungi. Penganut Toani Tolotang ini mengenal adanya Tuhan. Mereka lebih mengenalnya dengan nama Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) yang bergelar PatotoE.
Sekitar Tahun 1964-1965, terjadi Operasi Mappakaira yang dipimpin oleh Mayor Asap Marwan, yang bertujuan untuk menghentikan tradisi masyarakat To Lotang. Operasi ini dilakukan atas permintaan kaum legislatif (DPRD) waktu itu, oleh karena ajaran To Lotang tidak diakui sebagai agama yang berhak berkembang dan To Lotang diakui hanya sebagai kebudayaan.
Operasi Makkaira membuat sebagian masyarakat To Lotang masuk Islam dan sebagian lainnya tetap menjalankan tradisi nenek moyang, walaupun dengan cara sembunyi-sembunyi.
Ajaran Tolotang bertumpu pada 5 (lima) keyakinan, yakni :
1. Percaya adanya Dewata SeuwaE, yaitu keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa
2. Percaya adanya hari kiamat yang menandai berakhirnya kehidupan di dunia
3. Percaya adanya hari kemudian, yakni dunia kedua setelah terjadinya kiamat
4. Percaya adanya penerima wahyu dari Tuhan
5. Percaya kepada Lontara sebagai kitab suci Penyembahan To Lotang kepada Dewata
SeuwaE berupa penyembahan kepada batu-batuan, sumur dan kuburan nenek moyang.
Dalam masyarakat Tolotang terdapat 2 (dua) kelompok, yaitu Kelompok Benteng dan Kelompok To Wani To Lotang. Kedua kelompok ini memiliki tradisi yang berbeda dalam beberapa prosesi, misalnya dalam prosesi kematian dan pesta pernikahan.
Bagi Kelompok Benteng, tata cara prosesi pernikahan dan kematian sama dengan tata cara dalam agama Islam. Sedangkan tata cara kematian kelompok To Wani To Lotang berupa pemandian jenazah yang kemudian dibungkus dan dilapisi dengan menggunakan daun Sirih. Untuk prosesi pernikahan Kelompok To Wani To Lotang dilaksanakan di hadapan Uwatta, yakni pemimpin ritual yang masih merupakan keturunan langsung dari pendiri To Wani To Lotang. Bagi Kelompok To Wani To Lotang, ritual Sipulung yang dilaksanakan sekali dalam setahun mengambil tempat di Perrynyameng yang merupakan lokasi kuburan I Pabbere.
Pada waktu tersebut masyarakat To Wani To Lotang membawa sesajian berupa nasi dan lauk pauk yang diyakini merupakan bekal di hari kemudian. Dimana semakin banyak sesajian yang dibawa, maka semakin banyak pula bekal yang akan dinikmati di hari kemudian.
Bagi Kelompok Benteng, ritual Sipulung dilaksanakan di sumur PakkawaruE, dimana pada siang hari masyarakat berkumpul di kediaman Uwatta dan barulah pada malam hari melaksanakan prosesi Sipulung. Prosesi Sipulung berupa pembacaan lontaraq oleh Uwatta, dimana masyarakat yang hadir pada saat itu memberikan daun Sirih dan Pinang kepada Uwatta.
Upacara Adat To Lotang dilakukan oleh masyarakat To Lotang yang dilaksanakan di Bulu (Gunung) Lowa, berada di poros Kota Pangakajene dengan Kota Soppeng dan terletak di Amparita Kecamatan Tellu Limpoe. Daerah ini merupakan lokasi upacara adat Perrynyameng. Ritual tersebut dilakukan sekali setahun (Bulan Januari), dengan waktu pelaksanaan harus dimusyawarahkan oleh tokoh-tokoh (Uwa) Tolotang. Ritual adat dilaksanakan karena adanya pesan dari Perrinyameng. Apabila telah menghembuskan napas terakhirnya maka anak cucunya harus datang menziarahinya sekali setahun. Penyiraman minyak bau (berbau harum) oleh Uwa, atraksi Massempe (permainan adu kekuatan kaki).
Semua pengikut sealiran dari berbagai desa/kota berkumpul dengan berpakaian serba putih-putih, sarung dan tutup kepala (kopiah hitam) untuk para laki-laki, sedangkan untuk perempuan mengenakan pakaian seperti kebaya. Pada saat ritual upacara, mereka duduk bersila di atas tikar tradisional dengan penuh hikmat dan keheningan serta konsentrasi pemusatan jiwa dan raga kepada sang pencipta (Dewata SeuwaE). Selanjutnya dilanjutkan dengan penyembahan oleh wa, ditandai dengan penyiraman minyak bau (minyak berbau wangi-wangian) pada batu leluhur yang sangat disakralkan, kemudian dilanjutkan kegiatan Massempe.
Jarak lokasi upacara adat dengan Kota Pangkajene sebagai ibukota kabupaten sekitar 7 Km. Dalam konteks budaya To Lotang, mereka sangat menghormati makam tua Pammasetau. Makam Tua Pammasetau merupakan makam bagi ummat kepercayaan To Lotang yang dijadikan sebagai tempat ritual dan penyembelihan hewan untuk maksud-maksud tertentu (nazar). Pada umumnya kuburan yang ada batu nisannya masih berupa batu alami (batu sungai) yang bentuknya besar-besar.
Makam ini terletak di Desa Cenrana Kecamatan Panca Lautang. Jarak dari Kota Pangkajene sekitar 28 Km dan untuk sampai ke lokasi makam telah dibangun jalan pengerasan dari jalan poros Kota Pangkajene dengan Kota Soppeng. Untuk sampai ke lokasi makam dengan menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat.
Labels:
Journey to Celebes,
Sidrap
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment