Thursday, 15 March 2012

Ex Celebes : the life story of Mapa Maleta

Pegunungan verbeek dilihat dari kota Malili


Saya berasal dari kampung Wawondula, di Distrik Nuha, di Pulau
Sulawesi. Tempat kediaman kami cukup tinggi, dan cukup dingin.
Malam2 kami gulung tikar lalu masuk ke dalamnya supaya jangan
kedinginan.

Suku kami dikatakan MORI SELATAN. Ada Mori Bawah, Mori Atas,
dan Mori Selatan. Istilah TOMORI sebenarnya berarti ORANG MORI.

Bahasa yang kami gunakan adalah Bahasa Padoe. Di daerah kami,
setiap 15-20 kilometer sudah bedah bahasanya. Namun demikian,
bahasa2 sekitar kami kurang-lebih bersamaan, sehingga kami lain
dapat mengerti lain dalam hal2 sederhana. Tapi dalam rumpun
Mori Selatan pun ada juga Karongsixe, Tambe, dll.

Kampung kami (Wawondula) berada di Distrik Nuha, yang terdiri
dari 24 desa--ada yang Kristen, ada juga yang Islam.

Toraja jauh sekali dari kami--mungkin beberapa ratus kilometer.
Sedangkan di Kandari orang pakai Bahasa Tolaki, yang mirip juga
dengan bahasa kami.

Menurut ceritera orang tuah, kami semua berasal dari Tomata.
Dari sana ada yang ke Mori Bawah, ada yang ke Mori Selatan, ada
yang ke Pendolo (Poso), dsb. Di daerah Tomata ada satu
gunung--tidak tahu namanya--yang padanya katanya hidup manusia
pertama.

Pada zaman bapak saya punya bapak, namanya Bou, masih sedikit
orang di daerah Wawondula. Di sana Bou berburu babi dan rusa.
Isterinya bernama Wempino, kalau tidak salah. Ayah saya Damah,
ibu saya Pehi.

Yang merintis Kristen di kampung kami orang Menado dengan orang
Belanda.

Perekonomian waktu itu masih terlalu sulit bagi orang Padoe
karena tidak mudah bertemu dengan pedagang2 Bugis di Waraxu.
Waraxu ini sebenarnya tempat pertemuan dagang di mana orang2
Bugis dari Malili bertemu dengan orang2 Padoe dari pegunungan
yang turun bawa damar, kopi, dan hasil2 hutan lainnya. Sekitar
tahun 1910 atau 1920, ada seorang pegawai PU, asal Menado, dari
Palopo, namanya Tuaranto. Ia melihat bahwa daerah antara
Balambano dan Waraxu, sekitar jarak 15 kilometer, sekalipun
terjal sekali, mungkin dapat dihubungkan, dan kalau dapat
dihubungkan, ekonomi rakyat dapat dipermudahkan. Untuk membuat
jalan itu, ia gantung badannya dengan tali kira2 20 meter dari
atas turun ke bawah, lalu bongkar batu2 dengan linggis dan
tandu2 (pickax). Setelah kerja berbulan2, akhirnya orang bisa
lewat dengan jalan kaki. Kemudian, setelah dilebarkan lagi,
kuda bisa lewat dengan membawa damar.

Ada hari2 tertentu untuk pasar di Waraxu. Dari tempat kediaman
kami, kalau berjalan kaki, sekitar dua hari baru sampai di
Waraxu. Masing2 laki2 dapat pikul sampai 35 atau 40 kilo damar.
Setelah sampai di Waraxu, nanti mereka jual damar itu kepada
haji2 Bugis di sana, misalnya Haji Junait, al Haji Hamid, dan
Haji Mapa, yang semuanya datang dengan kuda atau berjalan kaki
dari Malili dan Palopo. Kebetulan waktu ayah saya menjual damar
itu, Haji Mapa yang membelihnya. Ah, terus pikir dia, "Wah!
Kalau anak saya lahir, saya kasi nama Mapa, barangkali dia bisa
kaya seperti Haji Mapa!"

Kalau perempuan mau melahirkan, biasa suaminya membuat sebuah
kamar kecil di dalam rumah untuk isteri dan anak yang mau
dilahirkan itu. Kamar ini terbuat dengan rangka bambu yang
padanya diikat tikar2 untuk menjadi dinding sementara.

Di sana kalau orang melahirkan, panggil dukun bayi saja. Begitu
saya lahir di gunung, mama saya dibantu dukun bayi saja. Orang
lari2 panggil antara sebelah gunung sana dengan lembah sana,
lewat sungai. Baru nanti dukun bayi datang, mama saya berlutut
sambil memegang pada suatu pegangan--bukan tidur. Biasa kalau
orang melahirkan di gunung2 ini, harus dibikin kamar khusus dari
daun tikar. Tiang2 didirikan, kemudian dipasang daun2 tikar,
semua diikat dengan rotan. Dan perempuan yang melahirkan
diberikan jatah yang lebih bergisi. Mama saya melahirkan
sebelas kali, tapi yang tidak meninggal hanya kami enam orang.
Setiap mama saya melahirkan laki2, semua meninggal. Entah dalam
dua tahun, entah dalam dua-tiga bulan. Ada empat saudara saya
laki2, mati semua, jadi lima dengan saya. Jadi yang lain
perempuan. Makanya sering kali kalau saya renungkan itu, kenapa
saya hidup? Ah, mungkin karena untuk pelayanan pekerjaan Tuhan.

Saya, Mapa Maleta, lahir di kebun, di Pegunungan Verbeg, di
Gunung Palumba, di Tambununu, tanggal 10 Pebruari 1937.

Kami minum susu mungkin cuma tidak sampai beberapa bulan, sebap
sebentar lagi adik kami sudah lahir. Kami diberikan makan
bubur, dan kesehatan kami tidak terlalu bagus. Ada yang sakit.
Yang paling banyak, demam malaria. Banyak yang meninggal karena
demam malaria. Tidak ada obat. Belakangan, setelah "merdeka",
baru sering kali ada apa yang dinamakan "pel Bandung." Pel
Bandung itu pahit. Anak2 lari kalau mau dikasi minum. Tetapi
ada satu pohon di sana, namanya LINGARU. Kulitnya diambil, lalu
ditumbuk menjadi bubuk, lalu diminum. Ubat ini membuat badan
kita pahit, lalu nyamuk tidak senang. Ini supaya tidak sakit
malaria. Saya waktu kecil sering kali harus minum itu. Saya
kalau tidak mau dikasi obat, saya lari, ditangkap oleh Bapa:
"Kau harus minum!" Waduh, saya sudah nangis, tapi saya minum
saja!

Ada penyakit lain, yaitu cacing. Kalau anak2 umur empat-lima
tahun perutnya kelihatan besar, biasa anak itu kena sakit cacing
(pinworm and/or roundworm infestation). Anak itu biasa tidak
suka makan, suka menangis, dan mukanya pucat.Cacing ini biasa
kami mengobati dengan getah buah papaya dicampur dengan gula
merah. Kalau obat ini diminum, dalam beberapa jam banyak cacing
akan keluar.

Waktu itu belum terlalu Kristen. Masih agak campur dengan
kepercayaan2 orang desa--dukun2 dsb.

Mereka tinggal di kebun. Nanti hari Sabtubaru datang ke kampung
ikut kebaktian malam. Besok lagi ada sekolah minggu. Setelah
itu, sore2 orang sudah pada kembali lagi ke kebun.

Jarak antara rumah2 kebun itu agak jauh. Biasa ada setengah
kilometer satu rumah. Masing2 punya kebun, di mana mereka buat
pondok. Juga mereka membuat rumah. Di sana mereka tinggal
sampai dua-tiga tahun, kemudian pindah lagi, karena mereka
berkebun pindah2.

Rumah biasa bertiang duabelas. Tiang2 yang paling kuat terbuat
dari kayu KULAHI, tapi untuk rumah kebun, yang akan ditinggalkan
dalam sekitar dua tahun, sering digunakan kayu2 yang tidak
sebegitu kuat.

Lantai rumah berketinggian kira2 dua meter dari tanah. Lapisan
atas lantai terbuat dari bambu jenis BALO BINASI dibelah kecil2
yang panjangnya sekitar 2.2 meter. Ini kemudian diikat di atas
lapisan kedua, yakni rangka terbuat dari belahan kulit batang
pinang MINAMA. Masing2 batang pinang dibelah enam, lalu
belahan2nya diikat berjejer menjadi lapisan kedua lantai rumah.
Semua ikatan lantai terbuat dari belahan2 rotan LA-URO.

Tidak ada dinding yang membagi2 ruangan dalam rumah, tapi ada
suatu batas penting yang membagi lantai rumah menjadi dua
bahagian. Seperti tadi dikatakan, lapisan lantai bambu terbuat
dari belahan2 yang berkepanjangan sekitar 2.2 meter. Lantai
bahagian depan ruangan dalam rumah terbuat dari satu jejer
belahan bambu, sedangkan bahagian belakang rumah, termasuk
dapur, terbuat dari satu lagi jejer belahan bambu, lalu di
antara dua bahagian ini ada sebuah kayu balok. Bahagian dapur
dikatakan KOMBIA, sedangkan bahagian depan dikatakan ULU KOMBIA.
Menurut adat, tidak boleh orang sembarang lewat batas kayu
balok masuk ruangan kombia. Orang kalau dipersilahkan duduk
tidak mungkin duduk di kombia kecuali keluarga. Adat ini cukup
keras, sehingga walaupun tidak ada dinding dalam rumah, namun
ada suatu batas yan tidak boleh sembarang dilewati.

Di atas lantai rumah kemudian terbentang gulungan2 anyaman daun
tikar yang padanya orang tidur. Daun tikar OMPEO hijau diambil
dari hutan, dikeringkan, lalu dianyam tanpa diwarnakan. Tiap pagi
tikar2 ini digulung dan disimpan pada loteng (attic) TONETE.

Ada tangga naik ke lantai rumah. Ada yang terbuat dari dua
tiang dengan anak2 tangga, tapi yang lebih mudah diambil saja
sebatang kayu yang agak besar sedikit lalu dipotong2 tempat2
kaki padanya.

Atap rumah terbuat dari daun rumbia. Bumbungan rumah mendatar
lurus dengan kepanjangan sama dengan panjang rumah. Ada atap
tambahan sedikit pada hujung2 rumah yang melindungi dinding
rumah dari air hujan.

Dinding rumah juga terbuat dari daun rumbia, tapi teranyam. Ada
jendela2 yang dapat ditutup dan dibuka. Tutup jendela terbuat
dari daun rumbia dengan rangka bambu.

Waktu itu belum ada listrik ataupun minyak tanah. Hanya orang
kaya2 yang bisa punya lampu minyak tanah. Kami hanya pakai dari
damar saja. Damar dipanaskan, digulung, dibikin tinggi kira2 30
senti, dibungkus dengan pelepah pinang yang diikat bahagian
bawahnya, lalu ditanam di dalam kotak2 kayu yang dinamakan
DALIKA. Lampu2 dalika ini tidak mudah terbalik, dan dapat
dipindah2kan ke mana2 di dalam rumah sesuai kebutuhan.

Orang biasa ambil air dengan bambu dua ruas.

Mereka bikin dapur di atas. Padi dikeringkan dengan asap, lalu
setelah kering ditumbuk pakai alu dan lesung.

Dapur terbuat di belakang satu batas lagi yang dikatakan TENGA.
Di belakang TENGA, dan di bahagian tengah ruangan, tanah disusun
sehingga mencapai ketebalan sekitar 30 sentimeter, lalu di atas
dasar tanah inilah dikumpul api untuk masak makanan, dsb.
Kemudian di sebelah kiri-kanan timbunan tanah ini ada tempat2 di
mana orang bisa kincing atau berak. Ini diperbolehkan karena di
bawah dapur ada kandang berisi babi, yang bisa makan tahi
manusia. Begitu kotoran jatuh, langsung babi santap di bawah.
Rumah2 seperti ini, tentu saja, tidak dibangunkan di kampung2,
tapi hanya di kebun.

Sekalipun kami semua tidur satu rumah, tidak pernah kami lihat
orang tuah bersetubuh, dan tidak kami tahu bagaimana mereka
melakukan hal itu.

Waktu kami kecil, tidak ada anak2 yang pakai pakaian. Sampai
kami mulai akil-balig baru kami sendiri mulai berusaha bagaimana
mau bikin pakaian. Kami sudah mulai merasa malu, lalu kami
mulai pakai cawat. Kami sendiri pergi ke hutan, potong kulit
kayu WASA, pukul, jemur, rendam lagi, dsb. Sari2 kulit kayu
wasa ini bersambung bagus, dan tidak mudah terpecah-belah. Kami
cari yang tidak terlalu mudah dan tidak terlalu tuah, sebap
kalau terlalu tuah, tidak bisa mengembang, sedangkan kalau
terlalu muda, gampang pecah. Kayunya ditebang, lalu kulitnya
diambil ikut panjang kain yang dibutuhkan, entah 1.5 meter atau
1.75 meter. Kain ini nanti dilingkarkan jadi cawat. Jadi kulit
kayu wasa ini kami bawa pulang, lalu kami mulai pukul2 dengan
palu kayu keras pada pengalas kayu keras. Kayu keras yang kami
gunakan ada beberapa macam, termasuk SOLOPIRI, LANGARA, dan
KOMIA. Palunya bulat, panjang kira2 30 sentimeter, dan ada
pegangannya. Tapi palunya harus diukir agar di antara
permukaan2 yang memukul ada juga lobang2 yang padanya kulit kayu
wasa tidak akan kena pukulan. Kayu pengalas bisa bulat, bisa
rata, tapi tidak ada ukiran apa2 padanya. Dan sambil pukul2,
harus ada air, supaya kulit kayu wasa itu mengembang dan menjadi
halus. Makin lama dipukul, makin lembut dan halus nanti kulit
kayunya. Kain kulit kayu hasil proses ini juga dikatakan WASA.

Waktu saya berumur sembilan atau sepuluh tahun begitu, Bapak
saya memelihara pohon2 damar milik Gae. Ada sekitar 30 pohon di
hutan situ. Jadi kalau Bapak pergi untuk mengambil damar, saya
ikut untuk mengambil sisa2nya.

Saya pikul biasa delapan kilogram. O, sudah nangis saya di
jalan! Nanti Bapak ambil delapan kilo itu, dipikul, saya jalan
tanpa pikulan juga masih nangis karena capek berjalan cepat.
Kami berjalan kira2 10 kilometer waktu itu.

Tapi saya senang sekali kalau kami pergi, karena Bapak membawa
bekal. Nasi dibungkus dengan pelepah pinang, dan ada sambalnya.
Wah, kalau kami sudah berhenti di sungai La Motaha, nanti siang
kami makan di sana, o, enak sekali itu nasi dengan sambalnya!
Sambal itu terbuat dari SOLIKE (rias), semacam terasi sedikit,
dan kemiri yang dibakar. Riasnya dirajak, terus ditumbuk. Wah,
itu enak sekali!

Damar saya itu nanti saya jual, kemudian saya belih gasing.
Setelah itu mungkin belih buku, atau belih apa, begitu. Mau
belih kain, tidak ada kain. Kami pakai cawat.

Saya waktu belum sekolah ikut orang tuah saja, misalnya di kebun
saya main2. Itu saja. Tidak ada pekerjaan. Setelah sekolah
baru orang tuah berikan suatu jatah kerja. Waktu sudah masuk
sekolah, Bapak berikan patok, supaya pulang dari sekolah, saya
harus bersihkan rumput sampai dengan batas2 yang ditentukan oleh
patok2. Kalau belum selesai, jangan pulang di rumah. Nanti
tidak dikasi makan, dsb. Tapi kalau saya sudah nangis, sudah
malam, sudah banyak nyamuk, saya tidak berani pulang ke rumah
karena belum selesai, Bapak datang di kebun. "Kenapa ini belum
selesai? Yah, sini, sini, sini!" Dia kerjakan sebentar
saja--strak, strak, strak, strak--sudah selesai! Dia memang
begitu2 saja. Tapi saya memang dilatih oleh Bapak untuk hidup
semacam itu.

Soal mulai masuk sekolah, saya disuruh pegang telinga. Kalau
dengan tangan sebelah belum bisa pegang atas telinga sebelah
melalui atas kepala, belum bisa masuk sekolah. Jaman Belanda
kan begitu. Itu dulu aturan Belanda. Jadi kalau penerimaan
sekolah, anak2 disuruh maju, dan guru lihat harus pegang
telinga. Kalau tidak bisa, "Pulang! Nanti tahun depan baru kau
masuk sekolah!" Jadi kira2 umur tujuh, delapan, atau sembilan
waktu itu baru saya sekolah, sebap jarak antara rumah (kebun)
dengan sekolah juga kira2 ada empat-lima kilometer. Saya musti
berjalan kaki tiap hari pergi-pulang. Sekolah di Kampung
Wawondula. Pagi2 saya sudah berangkat, dan rumput2 banyak
embun, dan saya musti basah. Saya musti jalan, saya musti
cepat2--sampai sana nanti lari2. Dan tidak boleh berbahasa
daerah: harus Bahasa Indonesia. Seperti sekarang mau belajar
Bahasa Inggeris sulit sekali, waktu itu saya berbahasa
Indonesia.

Biasanya untuk memilih tempat untuk membangunkan rumah, Bapak
sudah biasa lihat tempat2 yang bagus, dan dia belajar juga sama
binatang. Di sana biasa ada babi hutan bersarang. Tanahnya
rata. Ah, di situlah dia bikin rumah. Tapi di sana kalau
misalnya ada kebun jagung, padi, dsb., dibuat rumah sementara
pada tanah miring. Sebelum panen biasa kan musti jaga kera yang
datang ganggu tanaman, burung pipit yang datang serang padi,
babi hutan yang datang malam2 makan jagung, dsb. Di tempat2
seperti itu biasa bikin rumah di tempat miring. Tapi untuk
keluarga, pada waktu buka hutan, dia tahu ada tempat babi hutan
biasa bersarang, di situlah dia bikin rumah.

Di bawah rumah kami tidak ada rumput. Kami tidak menyapu, sebap
rumah kami di atas. Di bawah, paling dibakar saja
keliling. Biasanya juga di kiri-kanan sudah padi, jagung, ubi
kayu, pisang, segala macam tanaman di bawah.

Sebelum sekolah, saya bantu orang tuah, dan sering saya disuruh
minta rokok pada tetangga. Dari situlah saya mulai berpikir,
"Kalau saya nanti sudah besar, saya tidak mau merokok. Bikin
susah anak saya nanti." Sebap saya merasa susah kalau sudah
disuruh pergi minta rokok pada tetangga. Kalau sudah lewat
pohon besar, saya kira ada setan di situ, saya LARI keras
sekali. Nanti lewat sungai, saya LARI lagi. Saya kira ada
setan di situ. Karena sungai mengalir, saya pikir ada setan
yang alirkan. Jadi bunyinya itu jadikan saya takut sekali.
Apalagi kalau ada pelangi. Katanya di pelangi itu ada setan
turun mandi. O, saya tidak berani dekat2 kalau ada setan turun
mandi di mata air! Apalagi nanti kalau sudah hujan, ada guntur!
Sebap jarak antara rumah satu dengan yang lain jauh2. Itu juga
pun siang, dan bukan malam. Kalau malam kami tidak bisa lewat
situ kecuali pakai obor yang kami buat dari kulit kayu.

Dan itu waktu juga Bapak punya kerbau. Nah kerbau ini biasa
saya musti ikat, saya pindahkan, ... Pagi2 saya bawa untuk ikat
dia makan rumput. Siang sedikit, saya bawa dia mandi. Saya
bawa dekat air, dekat telaga atau dekat sungai, dia mandi.
Nanti kalau sudah soreh saya bawa pulang, ada kandang biasanya
untuk tidur malam. Lalu ada kalanya kerbau ini lepas. Wah,
kalau lepas saya susah cari ke mana2! Ah, itulah, kalau saya
sudah sampai, misalnya, di tempat yang sepih, saya takut
barangkali ada setan di sana!

Orang waktu itu punya kerbau. Sapi kami belum punya waktu itu.
Daerah kami tertutup, jadi daerah lain punya sapi, kami tidak
punya. Daerah kami hanya punya kerbau.

Jadi kalau orang bisa punya kerbau tiga-empat ekor, wah, sudah
orang kaya itu! Tapi kalau tidak punya, wah, itu orang miskin.
Kekayaan juga terhitung dari banyaknya pohon rumbia. Atau kalau
orang punya lumbung padi yang isinya tidak dapat dimakan dalam
setahun, orang itu dianggap orang kaya.

Orang waktu itu kalau sudah sekolah sampai kelas dua atau kelas
empat sudah dianggap cukup persekolahan.

Bapak terlalu terikat dengan rokok itu. Dia tidak lepas. Tapi
waktu sudah umur enam puluan, dia sudah tidak merokok lagi. Dia
meninggal umur 74.

Kalau diadakan pesta kawin, misalnya satu kampung ada 200-300
orang (50-60 kepala keluarga), diumumkan di gereja bahwa nanti
tanggal anu ada pesta kawin--keluarga ini dan keluarga itu mau
kawin--satu kampung orang berkumpul di situ untuk bikin pesta
kawin. Ke gereja, lantas dari tuah2 adat memberi nasehat,
lantas dari pengurus kampung memberi nasehat (termasuk kepala
kampung, sekretarisnya, bendaharanya, lantas untuk tuah2 kampung
juga lain lagi beberapa orang). Lantas dari gereja. Yang biasa
memberi surat itulah dari gereja sama dari kepala desa. Pendeta
dan kepala sekolah dulu sama. Ah, belakangan baru catatan sipil
masuk. Waktu dulu tidak ada catatan sipil. Tidak ada orang
punya surat kawin dulu.

Pendeta dan kepala sekolah Wawondula dulu Pendeta Tanonggi,
orang Sulawesi juga.

Saya waktu kecil tidak pernah melihat orang Belanda. Yang saya
lihat belakangan, waktu sudah sekolah, itu orang Jepang. Mereka
pakai topi, rupanya terbuat dari kain, tapi tutup telinga, dan
mereka dengan pakaian lengkap. Mereka seperti orang kejam, jadi
kami takut sekali melihat mereka. Banyak orang ditangkap oleh
mereka--diseret, dibawa. Begitu kami anak2 melihat mereka, kami
lari ke gunung takut ditangkap. Anak2 takut sekali.

Waktu itu juga mereka sudah mulai latih orang2 mudah rupanya
untuk apa yang dikatakan "Heiho". Saya tidak tahu apa "Heiho"
itu.

Waktu saya mulai sekolah, Jepang masih ada, tapi sudah hampir
pulang. Waktu itu masih ada beberapa bulan kami diberi
pelajaran Bahasa Jepang.

Saya waktu masuk sekolah, pakai celana. Kemudian saya pakai
cawat. Kemudian waktu sudah mau selesai kelas tiga, saya pakai
celana. Baju tidak ada. Waktu saya masuk kelas empat, sudah
ada kain yang masuk di daerah kami. Di pengungsian juga ada
pakaian dan makanan yang dikirim dari mana2.

Setelah Jepang pulang, Westerling masuk dan membunuh sekitar
40,000 ribu orang di Sulawesi Selatan. Westerling dan
tenteranya sudah datang untuk mau masuk Distrik Nuha, lalu dari
kira2 24 kampung ada pemuda2 sudah berangkat mau menghadapi
mereka. Bapak saya dengan seorang kawan juga berangkat dengan
parang mau menghadapi mereka. Pemuda2 ini sudah tebang pohon2
kelapa dan kayu2 lainnya di jalan untuk menghalangi mereka
supaya jangan masuk daerah2 Malili dan Nuha. Tapi saat tentera
Westerling tiba, lari semua mereka, dan pohon2 kayu tadi
dibersihkan dari jalan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Tentera Westerling pakai mobil, sedangkan orang2 kami berjalan
kaki saja. Waktu itu, Andi (gelar bangsawan) Mape, dari Palopo,
kirim surat kepada camat Tabarano, Distrik Nuha, supaya menyerah
saja, dan jangan melawan mereka.

Saya ingat waktu itu saya bawa pulang parang dari kampung ke
kebun untuk bapak saya. Waktu itu saya masih kelas satu. Bapak
saya mulai dari kebun dengan mengasah parang biasa, tapi di
Wawondula ia temukan parang warisan jenis PONAI, lalu ia
menyuruh saya pulangkan parang biasa tadi ke rumah kami yang ada
di kebun.

Waktu itu bapak saya tinggalkan nasi di bahagian atas rumah kami
di Wawondula pada suatu laci (shelf) yang dalam bahasa kami di
katakan SAMBI. Dia pesan, "Kalau ini basi, berarti kami tidak
pulang, tapi kalau ini tidak basi, kami pulang." Mama saya
tinggal di rumah kami di kebun, dan tiap soreh saya pulang ke
rumah kami di kebun. Tapi tiap pagi, waktu mau ke sekolah, saya
singgah dulu pada rumah kami di Kampung Wawondula untuk cari
tahu nasi itu, dan ternyata nasi itu tidak pernah basi.
Kemudian saya ganti pakaian, dan ke sekolah. Lalu habis
sekolah, saya singgah lagi di rumah untuk ambil payung daun
tikar baru langsung ke kebun. Orang2 kami pergi kira2 seminggu,
tapi tidak jadi melawan.

Ada tiga macam alat pemikul yang biasa dipakai oleh orang Padoe.
Kalompo dibuat dari daun pandan, kecil, anak2 bisa pikul. Di
dalamnya biasa terdapat permainan anak2, misalnya gasing,
kemiri, buku, potlot, pisau, dllsb. BAKI terbuat bagus2 dari
anyaman rotan, dan dipakai oleh perempuan2 yang sudah besar
untuk memikul isi kebun. BASO terbuat dari pelepah rumbia.
Biasanya tiga lembar dijadikan satu. Ukurannya cukup besar.
Baso dipakai untuk memikul beban2 berat, seperti padi, sagu,
damar, sayur2an, dsb. Dan kalau baso dipikul oleh laki2, sering
anaknya yang masih kecil ditaruh di atas sekali. Di bawah diisi
dengan pakaian, makanan, dsb., lalu anaknya ditaruh di atas.
Sedangkan perempuan menggendong anak2 kecil di depan pakai kain
atau wasa, lalu di belakang sekaligus pikul baki.

Memang ada satu cara lain, bernama MOLEMBARA, tapi ini tidak
umum, dan tidak dipakai untuk pikul jauh. Sepotong kayu diberi
pikulan pada hujung2nya, lalu semuanya dipikul dari tengah.
Cara ini biasanya hanya digunakan dalam keadaan darurat.

Ada juga semacam kotak pikulan yang kami buat dari pelepah
rumbia, yang dalam bahasa kami dikatakan BASO. Baso terbuat
dari tiga lembar pelepah rumbia yang dihubungkan dengan ikatan2
rotan. Dalamnya kami mengisi bekal, payung, buku pelajaran, dan
kebutuhan2 lainnya.

Kami membuat payung juga dari daun tikar, tapi untuk itu ada
proses khusus. Daun2 itu harus dipanaskan, kemudian dijahit
dengan jarum, dsb. Payung tikar ini terdiri dari suatu lembaran
yang dilipat dua, dan setelah dilipat dua, bisa juga digulung.
Dan setelah digulung, bisa diikat pada kotak pikulan yang dalam
bahasa kami dikatakan BAKI, yang terbuat dari rotan. Payung2
tikar seperti ini dengan bahasa kami dikatakan BORU.

Sungai2 yang mengalir di tanah air kami semua jernih sekali, dan
dapat diminum mentah tanpa takut apa2. Nama2nya, antara lain,
Koro Apundi, Koro Sora, dan Koro Musilu. Dari rumah kebun kami
ambil air pada sungai2 yang lebih kecil, atau juga pada sumur2.

Kepada kami, tanah tidak ada harga, tapi hanya pohon2 yang
ditanam padanya yang berharga.

Pada waktu saya belum sekolah, mungkin umur enam-tujuh tahun,
ayah saya lempar orang dengan batu kena pipi kirinya. Orangnya
sudah sedikit tuah. Namanya Gionto. Batunya besar. Pipinya
berdarah. Kami waktu itu sudah tiga anak, mau yang ke-empat.

Akhirnya ayah saya dengan orang ini berperkara. Perkara itu
diurus oleh kepala kampung dengan adat-istiadat, tapi tidak bisa
selesai. Kemudian ada satu orang bernama Mangaliki yang
mengantar mereka, lalu perkara itu dibawa ke Tabarano, ibu kota
kecamatan Nuha, tapi kepala distrik juga tidak bisa
selesaikannya. Waktu malam, mereka tidur sama2 dengan Mangaliki
di tengah.

Akhirnya Mangaliki juga dipercayakan untuk mengantar dua orang
ini pergi berperkara di Malili. Perjalanan mereka sekitar 60
kilometer. Dua orang ini seperti mau berkelahi, tapi tidak
berkelahi juga. Kalau mereka berjalan, bapak saya di depan,
Mangaliki di tengah, dan Gionto di belakang. Waktu mereka mau
makan, tidak ada warung di perjalanan. Terpaksa mereka
berhenti, masak makanan, dan makan bersama. Dan waktu mereka
menginap satu malam di Karembe juga terpaksa mereka tidur
bersama, bapak saya di sebelah sini, Gionto di sebelah sana, dan
Mangaliki di tengah.

Di pengadilan Malili, batu yang bapak saya gunakan itu diikat
lalu digantung jadi bukti bahwa benar Dama (bapak saya)
melempari Gionto ini. Mangaliki yang bawa. Di samping batu
ini, bekasnya juga ada pada pipi Gionto.

Sekarang bagaimana hukumannya? Oleh hakim dikatakan bapak saya
bersalah, lalu hukumannya penjarah satu bulan. Bapak saya pesan
Gionto, "Pulanglah dengan selamat, dan kalau pulang, tolong
lihat anak2 saya di rumah." Kami kan berdekatan kebun. Maka
pulanglah ia.

Waktu itu kenapa bapak saya lempar dia? Kebun Gionto tidak
dipagar, jadi babi masuk lewat kebunya lalu makan jagung kami,
lalu bapak saya marah. Sebenarnya tidak apa2, tapi ada orang
yang menghasut bapak saya, katanya, "Kamu bukan laki2 kalau kamu
tidak pukul dia!" Jadi bapak saya, karena mungkin masih darah
muda, dia lari, dia ambil itu batu, dia lempar itu Gionto.

Nah, bapak saya ini karena sudah biasa rajin kerja, dia
dipercayai oleh kepala penjara, dia pergi ambil daun rumbia, dan
dia bikin atap. Hari2 dia minta permisi sama kepala penjara:
"Saya mau ambil daun sagu." Dan kalau dia janji dua jam, ya
dalam dua jam dia sudah kembali lagi di penjara. Tiap hari itu
kerjanya, dan dia jual atapnya, jadi uangnya menjadi banyak.
Dan di samping rajin bikin atap, dia juga bersihkan seluruh
penjara. Sampai orang2 di situ bilang, "Wah, ini orang dari
gunung ini luar biasa, dan uangnya cukup banyak juga!"

Lalu, waktu dia sudah mau pulang, dia belanjakan ole2 untuk
kami, mungkin baju kaus dan kain2an lainnya. Dan dia belih
garam satu baso.

Jadi waktu dia tiba kembali di rumah, kami lihat barang2 yang
dia belanjakan itu, saya bangga sekali sebap bapak saya masuk
penjarah. Kesan saya orang kalau masuk penjara itu uangnya
banyak, dan pulang dengan garam.

Waktu saya sudah sekolah, ada teman kami bernama garege. Garege
ini sakit KUMI (rupanya boba). Kulitnya bernana. Dia dikirim
berobat di Rumah Sakit Malili.

Kami waktu itu belum bisa berbahasa Indonesia dengan baik, dan
kami berbahasa Padoe saja. Tapi mungkin di Malili si Garege ini
ada belajar berbahasa Indonesia, karena setelah berobat sekitar
satu bulan, dia pulang sambil tepuk dada dengan bangga. Wah,
begitu dia datang, dia bilang, "Lihat ini tuang2 dari Malili!
Lihat ini tuang2 dari Malili!".

Jadi kesan2 kami di daerah tertutup itu kalau orang pergi
berobat di rumah sakit itu dia jadi tuan2.

Suatu saat saya sama Bapak mau ke Malili. Saya waktu itu sudah
sekolah. Umur saya sekitar sembilan tahun. Wah, kami bawa
madu, bawa kopi, bawa apa. Kami pikul itu juga berjalan
beberapa hari baru sampai--tidak sekali berangkat soreh sudah
sampai. Musti menginap dulu di jalan. Kami pergi itu waktu,
kami hanya sebentar di Malili. Hanya jual madu, jual kopi . .
. Ah, setelah itu makan pisang goreng. "Wah, enak, ya, pisang
goreng? Eh, bagaimana caranya bikin pisang goreng?" Di kampung
itu kami tidak tahu bagaimana bikin pisang goreng. Wah, Malili
itu pisang goreng! Jadi saya punya pikiran itu waktu, "Ia,
kalau kita ke Malili itu pergi makan pisang goreng!" Padahal
kami di gunung itu, pisang hanya direbus saja, dibakar saja,
karena di gunung tidak ada minyak. Dan tidak ada minyak itu,
tidak tahu bagaimana namanya pisang goreng. Ada pohon kelapa,
tapi orang tidak tahu bagaimana bikin minyak.

Belakangan, setelah agak maju, baru, "O! Bikin minyak itu
begini!" Saya sendiri waktu itu belajar bikin minyak, kemudian
minyak itu saya campur dengan nasi. Waduh, enak sekali, ya,
kalau ada minyak? Orang di gunung tidak mengerti masak pakai
minyak, tapi ada satu orang di kampung bernama Teitei. Dia ini
agak maju. Dia punya toko di situ. Kami dengar dia masak
dengan minyak. "Bagaimana caranya bikin minyak? O, begini
caranya!" Ah, kami coba bikin minyak. Padahal, di daerah lain,
tidak terlalu jauh dari situ, memang ada orang jual minyak.
Kira2 120 kilometer, di Mangkotana, ada daerah yang banyak
minyak. Banyak kelapa, dan banyak orang bikin minyak di situ.
Tapi karena daerah kami tertutup, kami tidak tahu hal itu.

Saya mulai ikut2 Bapak mengambil sarang lebah waktu umur saya
kira2 sepuluh tahun.Lebah memang ada yang kecil dan bersarang di
lobang2 batu, yang sekarang orang2 kota juga pelihara pada
batang2 kelapa berlobang. Jenis itu kami katakan MEOA. Tapi
yang perlu kita ceriterakan di sini adalah lebah hutan, yakni
yang dengan bahasa kami dikatakan TAWON atau HOANI itu. Biasa
lebah2 hutan buat sarangnya di pohon2 tinggi yang jauh di dalam
hutan, sepertinya supaya orang tidak tahu mereka ada di sana.
Dan biasa di satu pohon besar bisa ada sampai lima atau enam
sarang madu. Cuma belakangan ini memang sudah agak berat bagi
lebah2 itu karena orang sudah maju sampai di hutan2 untuk
tinggal di sana. Tapi dulu, bapak saya kalau dia tahu ada
tawon, dia cepat taruh umpan madu supaya mereka datang banyak.
Maksudnya supaya dia mau cari tahu di mana sarangnya. Langsung
dia tumpahkan madu di mana dia ada, dan lebah2 ini pada datang
untuk ambil madu. Dalam tempo setengah hari begitu, lebah yang
datang sudah banyak. Nanti kalau sudah pukul 10-11 pagi, Bapa
ini cepat2 cari tahu di mana sarang mereka--ada yang 5-8
kilometer dari tempat itu. Bapak mulai lihat mereka terbang ke
mana--apa ke timur, apa ke barat, apakah ke utara, apa ke
selatan. "O, ini ke selatan! Ke selatan, o, di sana ada hutan
besar di sana!" Mulai Bapak lihat sampai di mana penglihatan
Bapak ada lebah, dia pergi panjat pohon di sana. Dia periksa
lagi. "Di mana? Oo, sampai di bukit sana mereka lewat di
sana!"

Jadi ada bunyi, "Siing! Siing! Siing!" Oh, dia pergi lagi di
bukit di sana. Dia turun lembah, naik bukit. Dia sampai di
sana, "Oh, mereka ke arah sana!" Dia panjat pohon lagi di sana.
Oh, biasa sampai pulang soreh karena mengikuti jalannya lebah
itu! Tapi begitu nanti sudah ketemu, "Oh! Oo, di sini sarang
mereka!"

Ah, dia lihat dulu barangkali sudah ada yang punya. Dia lihat
keliling, "Oh, tidak ada! Oh, berarti ini saya punya ini!"
Kalau sudah punya orang, tidak berani Bapak ambil.

Dia ambil akar kayu lalu dia buat seperti tali kalung yang di
leher sapi atau kerbau. Kemudian dia ambil sepotong kayu, dia
potong, lantas dia tanam di situ, lalu padanya dia gantung tali
yang dibuat tadi. Dengan demikian dia tandakan bahwa "Ini punya
saya!" Kalau sudah dikasi tanda begitu, diambil orang, berarti
dendanya kerbau. Begitulah adat-istiadat kami di sana yang
sudah disiapkan dengan tali untuk mengulur dari atas ke bawah.
Nanti dia sudah pakai akal di sana, "Panjat dari batang ini ke
batang sana." Dia sudah lihat batang sana, batang sini. Dia
sudah bikin di bawah kayu yang diikat. Kalau nanti kayu itu
disorong ke atas, dia bisa terkait dengan cabang yang lain.
Kalau cabang itu besar, dia buat di sini besar. Jadi kalau
nanti disorong-sorong-sorong-sorong sampai di atas, dikaitkan di
pohon besar, baru dia panjat sampai di situ. Ah, disorong lagi
yang satu sampai di sana. Sorong lagi sampai ke atas. Biasa
tiga-empat batang kayu baru sampai di dekat sarang lebah itu.

Nah, kalau sudah dekat, biasanya sudah disiapkan sepotong bambu
dengan seikat kulit kayu yang bisa mengeluarkan asap. Kulit
kayu dibakar di bagian bawah bambu, asap keluar di bagian atas.
Kemudian hujung atas bambu ini disorong ke sarang lebah, lalu
lebah2 lari. Takut dia dengan asap.

Nah, saya di bawah sudah dibikin tempat sembunyi di sebelah kayu
yang tidak gampang lebah masuk, sudah ditutup, dan saya sembunyi
di bawah. Blek sudah siap di situ, dan Bapak sudah naik bawa
talinya. Jadi nanti dia tinggal teriak. Bleknya sudah
dikaitkan dengan kait yang dia sudah buat begitu rupa. Dia bawa
naik, dia ambil, baru dia ulur lagi turun, saya ganti lagi...

Ah, cara dia, tidak tahu benar-tidaknya, dahinya dan dahi saya
sudah dikasi kapur sirih. Kapur sirih, katanya, lebahnya tidak
lihat. Tidak tahu kalau dia ada menteranya.

Tapi yang jelas, begitu nanti dia sudah ambil ini sarang lebah
dengan madunya, dia buang itu madu kesana, madu kesini. Jadi
lebah itu tidak jadi gigit dia, tapi mereka makan madu yang
sudah disebar sana, sebar sini. Sampai di bawah, nanti itu air
madu sudah banyak, lebah ini tidak jadi marah, tapi mereka
mengisap madu.

Jadi saya keluar nanti dari persembunyian, saya juga pakai kapur
di dahi, kalau dia sudah teriak, "Itu, bleknya, ayo dikaitkan!"
ah, sudah, dia naik ke atas.

Dan untuk mengambil ini sarang madu, sangat berhati2 dengan
parang tajam tidak boleh melukai kulit kayu, sebap nanti kalau
dilukai, dia tidak mau lagi bersarang di situ. Jadi kami hati2
sekali supaya lain kali dia sarang lagi--ada madu lagi di situ.
Ah, kami dengan perlahan2 nanti potong sedikit, ya.

Dan kalau besar, itu bisa empat blek itu. Wah, kita pikul
pulang itu berat sekali. Lalu pulang di rumah, sarang madu ini
bisa dimasak, bisa dimakan langsung, sisanya bisa dijadikan
lilin. Sarang lebah enak dimakan. Di situ banyak anaknya yang
masih mau jadi--sudah mau keluar di sarang lebah itu. Jadi
makannya itu musti ada bulan kosong, ada bulan berisi. Berisi
itu bulan purnama. Kalau bulan purnama, dia keluarkan anaknya
masi muda2: belum tuah. ENAK sekali! Bisa dimasak jadi sayur,
bisa ditaruh di bambu terus dimasak dengan bambu... Enak
sekali. Dan kalau lilinnya, ah itu terus dimasak juga, keluar
lilinnya. Terus madunya ditaruh di botol. Bisa 15 botol, 20
botol, 25 botol. Wah, tinggal jual!

Tapi soal gigit, yang paling sakit adalah jenis lebah itu yang
dengan bahasa kami dikatakan TOWUE, yang di tengahnya kuning
itu. Itu tidak bisa dimakan dia punya sarang itu. Ah, kalau
itu yang gigit, aduh SAKIT benar! Demam, orang!

Pada awalnya orang2 Padoe tidak bikin sawa. Mereka tanam padi
gogo saja. Tanah mereka cukup luas, dan mereka merasa harus
berpindah2. Mereka mulai buat sawa hanya karena tekanan
pemerintah saja.

Dua kali Bapak saya buat saluran air yang membawa air sampai
dekat rumah kami. Ia gali dengan tangan sendiri, dan tidak
pakai orang. Satu kali ia membuat saluran air lewat lereng
gunung di mana ada batu besar. Ia mengumpul kayu banyak sekali
di atas batu itu, lalu ia membakarnya. Begitu lagi merah2 ini
batu, dia siram air. Terkupaslah itu batu! Lalu ia mulai pakai
linggis dan tandu2 untuk menggali perlahan2 sampai temukan batu
keras lagi. Kemudian ia mengumpul kayu, membakarnya lagi
seperti tadi, dan mengulangi seterusnya. Ia tidak pakai
dinamit. Kira2 seminggu ia membakar dan memotong itu batu.
Saya saksikan. Saya biasa kan disuruh Ibu antar nasi buat dia
makan siang. Nanti sore baru ia pulang. Saya waktu itu sudah
umur belasan--barangkali 13-14 tahun. Bapak memang orang nekad
juga! Dan di dalam semua ini, Mama tidak menentang, malah ada
waktu2 yang Mama juga ikut kerja gali saluran dengan Bapak.

Nah, ini Bapak seperti dia tidak merasa puas kalau dia belum
potong ayam di saluran air itu. Dia bawa ini ayam jantan besar,
dia datanglah di sana, dia berdoa, "Tuhan, terimakasih. O,
Engkau sudah memberikan air ini datang supaya saya ini tidak
berutang. Saya mau potong ini ayam sebagai tanda ucapan syukur
di tempat ini . . ." Setelah dia berdoa demikian, dia potong
itu ayam. Setelah itu, dia bawa pulang, kami masak di rumah.
Bukan ayam putih, tapi ayam yang di sana kami katakan ayam Jawa.

Bapak minum tuak bukan untuk mabuk. Ia minum hanya sedikit
untuk hangat badan saja, lalu ia kerja keras. Misalnya kalau
mau cangkul kebun di waktu bulan purnama, siang2 yang kerasnya
sudah diambil semua (pohon kayu, batu, dsb.), lalu semalam2an ia
cangkul terus sampai pagi.

Dan kalau ada buku2 yang datang di gereja untuk dijual, langsung
ia belih untuk anak2. "Hei, kamu orang, baca ini! Baca! Kamu
musti sekolah!"

Lalu saya, yang laki2, musti bantu dia, sedangkan yang perempuan
bisa sekolah. Jadi adik saya yang sekolah sambungan (kelas
empat sampai dengan kelas enam). Saya tidak.

Tapi Kahar Musakar cari anak2 untuk dijadikan tentera
gerombolan. Saya tidak pernah melihat Kahar Musakar. Hanya
saya melihat tenteranya saja. Waktu itu baru saya disuruh
sekolah lagi. "Kamu sekolah. Jangan jadi tentera gerombolan.
Kamu sekolah saja." Ah, baru saya masuk sekolah kelas empat.

Setelah itu, kami dipaksakan masuk Islam. Pertama2 Kahar
mengambil beberapa camat, beberapa kepala desa, beberapa kepala
sekolah, lalu membunuhnya sebagai contoh. Kahar Musakar pakai
kampung2 Islam di Distrik Nuha sebagai markas untuk perIslamkan
kampung2 Kristennya.

Dalam tahab teror pertama yang dilakukan oleh gerombolan Kahar
Musakar di Distrik Nuha, suatu rombongan yang agak besar diambil
untuk diinterogasi. Mereka ditanya ini, itu, segala, dan dibawa
agak lama dan agak jauh. Kemudian agak banyak mereka disuruh
pulang, sampai tinggal tiga orang: Mokole (camat) Lasemba
Malotu, Mantade, dan satu orang lagi. Mantade sebenarnya diberi
kesempatan lari, tapi dia tidak mau. Dia bilang, "Saya mau mati
dengan Mokole." Mereka bertiga ini lalu dimatikan.

Satu kali, menjelang soreh hari, Bapak Palusu, dari Kawata,
datang bertamu di rumah Akele Dara (wakil kepala kampung di
Wawondula). Rumahnya bagus. Malam itu juga, sekitar jam
sepuluh, kumpulan gerombolan datang, memaksa mereka keluar dari
rumah, mengikat mereka, lalu membawa mereka sejauh lima-enam
kilometer perjalanan. Di sana, menjelang pagi, mereka
diinterogasi, disiksa, dan ditombak mati. Mereka ditanya
macam2--hubungannya dengan gereja, dengan kepala kampung, dengan
kepala distrik, soal agama, soal politik barangkali--padahal
orang situ tidak mengerti politik apa2. Orang2 kampung,
termasuk bapak saya, Podusu (adik Dara), Peru, dll., pergi
mencari mereka beberapa lama, lalu akhirnya ketemu mayatnya.
Mayat2 ini kemudian dipulangkan dan dimahkamkan.

Di Matompi, sekitar enam kilometer dari Wawondula, Guru
Pongkede, Kepala Matompi, dan Mangaliki diundang makan2 di
Tamampu, sebuah desa Islam di tepi danau. Ternyata bukan.
Mereka malah dibawa ke pinggir danau, dan disiksa. Guru
Pongkede berhasil tendang lepas sebuah keris yang dipakai waktu
itu, lalu dengan keris itu ia membunuh beberapa orang.
Mangaliki juga berhasil membunuh beberapa orang. Tapi akhirnya
mereka dijerat dengan tali panjang, dan ditenggelamkan dalam
danau.

Kemudian, Nampa, anak Lasemba, juga diangkat jadi Mokole ganti
ayahnya, tapi dia juga dibawa, bersama Landangi Meoko, (kepala
kampung Tabarano), ke seberang danau, lalu dibunuh di
Lengkobale.

Sebelum 17 Augustus, kalau tidak salah tahun 1952, semua tuah2
gereja--penatua2 gereja, guru2 sekolah minggu, dsb.) dikumpulkan
di Timampu, di pinggir Danau Tuwuti. Saya pemain musik bambu di
sekolah. Kalau tidak salah, orkes musik bambu ini harus ada
20-30 yang pemainnya. Kalau suling, biasanya perempuan yang
tiupnya. Saya dan seorang kawan jadi pemain bambu bas kembar,
terbuat dari bambu kecil yang dimasukkan ke dalam bambu besar.
Instrumen ini, kalau dengan bahasa kami, dikatakan TAMBOLO
MERAKA, sedangkan anak2 perempuan mainkan beberapa macam SILOLI,
atau suling bambu. Siloli ada dua macam, yakni SILOLI LANGKAI
(suling besar) dan SILOLI DEDEIKI (suling kecil). Pada tanggal
17 Augustus, kami pergi main di Timampu, di mana tuah2 kampung
semua sudah dikumpul lebih dulu. Ada juga anak2 pemain bambu
lainnya dari Matompi, dari Pabarano, dari Paepae, dari Landangi,
dari Kawata, dan dari Lasulawai--jadi RAMAI sekali waktu itu.
Saat itulah kami dipaksa masuk Islam. Kalau tidak masuk Islam,
berarti mati. Orang2 tuah kami sudah dipaksa lebih dulu, jadi
nasehat mereka kepada kami begini: "Kita sekarang sudah Islam,
jadi kalian baik2 saja." Memang Kahar Musakar yang panggil
kami, tapi Kahar Musakar tidak ada di situ.

Jadi setelah itu kami pulang, kami diberikan waktu satu minggu
atau sepuluh hari. Semua babi harus dipotong dalam waktu
sepuluh hari. Harus habis. Padahal babi kami banyak sekali.

Karena kami masih kanak2, kami lebih turut daripada orang tuah.
Orang tuah ini akalnya banyak. Di sini pura2 Islam, tapi di
kebun makan babi. Ada lagi yang tidak bunuh babinya, tapi bikin
kandang jauh2 di hutan di mana susah orang pergi. Cuma kalau
ketahuan gerombolan, tidak ada penjarah. Langsung diadili dan
ditembak. Gerombolan tidak ada penjarahnya.

Setelah babi2 semua sudah dipotong habis, kami dibawa ke sungai,
di mana kami diharuskan mandi. Imam panggil kami semua "mari",
lalu kami disuruh gosok gigi dengan tanah, sebap sikat gigi
tidak ada. Kemudian kami disuruh mandi.

Selesai di sungai, kami semua dibawa ke BARUGA (rumah
persinggahan) untuk diIslamkan. Dan di situ dibikin pengajian
tiap malam dengan pengajaran2 Islam. Kami tidak disuruh sunat,
rupanya karena bangsa kami memang sunat.

Jadi tahun 1951 atau 1952, 24 desa itu diIslamkan semua oleh
Kahar Musakar.

Lalu tahun 1954, kami turun mengungsi di Malili. Di sana ada
tentera Brawijaya yang jaga kami. Kami diambil, dibawa, lalu
diberi kebebasan. "Siapa mau kembali ke Kristen, silahkan.
Yang tetap Islam, silahkan." Kami disuruh pilih.

Setelah kami mengungsi baru saya menyambung kelas lima - kelas
enam, tapi saya tidak lulus kelas enam. Saya tidak pandai,
sebap tiap hari kami pergi ke hutan cari hidup, dan waktu
belajar tidak ada. Jadi saya tidak lulus ujian kelas enam.

Setelah bapak saya sudah mengungsi lagi dari Malili ke Bayondo,
dekat Mangkutana, di daerah Wotu, saya sudah mulai merasa diri
saya pemuda. Waktu itu ada dua pemudi ajak saya pergi ke Wotu.
Pemudi2 ini ajak saya. Wah, seperti sudah pemuda gantang, saya!
Yang satu Wisuna, yang satu Kuede. Ah, saya bilang, "Kalau
begitu saya ikut supaya juga ketemu Bapak di sana," sebap saya
sudah sendirian tinggal di Malili. Lalu saya berangkat bersama
dua pemudi ini. Dari Malili mau ke Wotu harus menyeberang laut.
Waktu itu ada kapal landing yang menggandeng tiga-empat perahu,
lalu saya dengan dua gadis ini ambil pasasi pada salah satu
perahunya. Setelah malam, saya tidur di antara mereka. Bersama
kami di perahu itu juga ada banyak laki2. Setelah saya sudah
tidur, kedua pemudi ini diganggu oleh orang Bugis, lalu mereka
bangunkan saya di dalam kegelapan. Gelap2 di perjalanan satu
malam itu, orang Bugis ini sudah mulai mau omong, sudah mau
raba, dan mereka ini sepertinya di atas angin, saya ini dikasi
bangun sama mereka! "Hei, Mapa! Bangun!"

"Loh, kenapa? Kalau malam ini kan kita tidur?"

"Loh, ini kita diganggu!" (dengan suara yang halus). "Ini, ini,
wah ini begini!"

Mereka sudah rasa terganggu, lantas saya dibangunkan. Waktu itu
saya rasa diri saya seperti, ya, laki2lah! Umur saya sudah
sekitar 17, dan saya sudah mulai jadi pemuda.

Akhirnya sampai pagi baru kami berjalan kaki ke daerah
pengungsian di Pakatan dan Bayondo.

Saya tinggal di situ sekitar 2-3 bulan, dan waktu itu saya kerja
ambil rotan di hutan. Biasanya kami berangkat hari Senin, nanti
hari Sabtu baru kami pulang. Dalam beberapa hari itu kami
mengambil rotan, mengikatnya, lalu merakitnya di sungai. Lalu
yang belih rotan kami orang2 Bugis.

Berminggu2 kami di hutan. Hanya hari2 Sabtu kami pulang ke
kampung untuk bertemu orang2, masuk kebaktian, dsb. Nanti Senin
kami berangkat lagi bawa beras, garam, ikan kering, dsb. Di
hutan banyak sayur, jadi kami tidak perlu bawa sayur.

Batang2 rotan biasa kami potong panjang 2.75 atau 3 meter, jadi
satu batang rotan tuah bisa dipotong menjadi empat helai,
sedangkan yang muda hanya menghasilkan satu helai saja. Kami
jelajah hutan kesana, kemari, cari rotan.

Ada satu daerah yang rotannya banyak sekali. Setelah seminggu
di situ, kami bawa ikatan2 rotan kami ke hulu sungai Koron
Tomoni, lalu kami menghanyutkannya dengan rakit bambu menuju
hilir. Tiap hari kami turunkan satu ikat. Pagi2 kami sudah
berangkat. Kami ikat baik2.

Deras sekali air Sungai Koron Tomoni, dan biasa ada batang2 enau
yang terlentang di tengahnya, lalu rakit2 kami suka terdampar
pada batang2 itu. Kalau salah perhitungan, lalu rakit kami
masuk di sela2 batang2 enau itu, maka kekuatan air yang menekan
di situ lebih kuat daripada ikatan rotan, dan sering kami tidak
dapat melepaskan rakitnya karena sangking kerasnya air.
Terpaksa kami tarik batang2 rotan itu satu-per-satu ke daratan,
mengikat semuanya lagi, baru bisa kami langsung menuju hilir.
Sampai ke hilir nanti bambu rakit kami juga dapat dijual untuk
dipakai bikin rumah, lantai, tempat tidur, dsb.

Waktu kami di Malili, hidup kami sudah susah sekali, lalu kami
ingat kampung kami. Sebelum mengungsi kami telah mengambil
piring2, dsb., lalu menyembunyikannya di lobang2 batu. Tapi
waktu kami pulang cari, ternyata gerombolan sudah temukan
semuanya. Jadi waktu itu orang Padoe terbagi dua. Ada yang
dipegang oleh gerombolan, lalu dibawa menyeberang Danau Towuti,
sedangkan sebagian yang lain, termasuk kami, dibawa oleh
Brawijaya mengungsi di Malili. Jadi daerah kami yang saya
katakan 24 desa tadi kosong semuanya. Lalu di situ kerbau
banyak, sapi banyak, lantas rusa jadi jinak sekali, babi hutan
banyak sekali, pohon2 rumbia tidak ada yang potong sampai sudah
berbuah, kopi di sana-sini banyak, kelapa banyak sekali sudah
kering. Jadi siapa yang berani, dialah yang dapat, yang takut
tidak berani pergi. Nah, jarak antara Malili dengan daerah itu
60 kilometer, jadi kami musti jalan kaki dua hari baru sampai.
Hanya orang kuat sekali yang bisa sampai dalam satu hari. Di
jalan biasa kami ambil sayur, masak. Kalau ketemu gerombolan,
kami lari, dia juga lari. Atau, kalau dia ada senjata, kami
dikejar. Ada orang yang masuk dengan kuda, karena kuda bisa
pikul satu kwintal, sedangkan satu orang hanya bisa pikul 30-40
kilogram saja. Tapi kuda sering dirampas oleh gerombolan. Jadi
kami masuk ambil sagu, ambil daging, ambil damar, dan bahan2
lain, lalu memikulnya pulang.

Kami sudah musti punya pondok yang tidak diketahui oleh
gerombolan itu. Bagaimana caranya? Ah, karena mereka itu juga
orang, mereka juga takut nanti kami serang mereka.

Ah, saya bersama dengan satu oom, namanya Tandiala. Tandiala
ini seorang yang bijaksana. Seorang yang punya akal tinggi.
Dia bilang begini: "Pagi2 sebelum jam delapan, kita sudah masuk
hutan." Ini cari damar ini. "Sebelum jam empat, kita tidak
boleh keluar dari hutan." Dia selalu punya akal ini. Lantas
kalau kami keluar dari hutan soreh2, kalau banyak kerbau, ada
rusa, ia berkata, "Oh, tidak ada gerombolan." Hikmatnya dia
begitu. Tapi kalau sepih, ia berkata, "Oh, kita jangan keluar
dulu. Kita di sini dulu. Kita tunggu saja di sini, di pinggir
hutan." Jadi Tandiala ini kasi pengalaman hidup cukup banyak
kepada saya. Sudah meninggal sekarang, orangnya.

Jadi kalau kami lewat di padang, cepat2 kami masuk hutan. Kami
tidak boleh kelihatan di padang kalau sudah jam delapan.
Gerombolan ini sudah datang kira2, begitu. Nanti kami ambil
damar perlahan2, kami potong itu damar, kami pikul kira2 20
kilo, kami keluar dekat2 padang, kami periksa, kami lihat. "O,
ini banyak kerbau. O, itu banyak rusa. O. Ah, kita jalan
saja. Tidak ada. Tidak ada. Gerombolan tidak datang." Kan
bergantian masuk. Mereka datang, kami lewat.

Ada kawan kami satu tuli--namanya Bato. Karena dia tuli, dia
tidak dengar gerombolan. Oh, dia dihadang! Habis dia! Mati!
Waktu mau dikuburkan, mau dibawa bagaimana? Ya, dikubur saja di
situ oleh teman2. Tidak ada untuk menggali tanah bagaimana.
Piring kami itu kan piring seng, jadi kami bikin kayu untuk gali
tanah. Kami potong akar2 kayu dengan parang (kan di hutan
banyak akar), lalu dengan piring inilah kami seperti sekop buang
tanah di atas untuk mengubur teman ini, tapi kubur yang kami
bikin itu tidak dalam. Akhirnya kami cari lagi kubur Bato ini
sudah tidak ada. Batu sudah dimakan habis oleh babi.

Suatu saat, saya ini dengan Woleangi. Kami berdua. Kami lihat
mereka sedang kasi turun kelapa di Kampung Wawondula. Di
Kampung Wawondula ini kelapa banyak. Kira2 jam tiga, mereka
sudah pulang. Oh, kami lihat mereka pikul itu kelapa. Dan dari
atas pohon di bukit kami lihat, oh, mereka sudah pergi. Kampung
sudah sepih. Kami turun di pinggir kampung itu,kami bawa akar
tuba untuk bikin mabuk ikan. Kami sudah pukul dulu di gunung
supaya tidak kedengaran, kemudian kami bawa. Kami coba dekat
kubur, tidak ada satu ikan yang keluar. Tidak tahu kenapa.
Tidak diidzinkan, barangkali, oleh setannya di situ! SATU tidak
ada! Kalau akal normal, barangkali karena dingin tidak ada ikan
yang kena, tapi kami pikir, "Ah, ini dekat kubur, ini orang2
kubur tidak kasi kita ikan! Kandeat kita tidak buat sesuatu apa
supaya mereka kasi ikan." begitu. Jadi kami pulang saja.

Tahun 1955, saya bersama Woleangi dengan Siaga bertemu dengan
kawan2, di antaranya Laloasa, roxboli, dsb. Mereka bilang,
"Teman kami sudah ditangkap."

"Dan bagaimana ceritera ditangkapnya?"

Mereka bilang pada waktu itu mereka datang di Jembatan Koro
Apundi, mereka pukul2 itu jembatan, dsb., dan mereka berkata,
"Tidak ada gerombolan." Mereka juga bertiga. Yang satu namanya
Tera, yang satu namanya Butahi, yang satu namanya Lombi. Jadi
waktu mereka bunyikan itu ke sana-sini, mereka pikir gerombolan
takut.

Ah, setelah itu mereka pergi ke pinggir kampung sana, mereka
bakar daging di bawah lumbung, dan duduk2 makan2. Mereka di
pinggir sungai.

Ah, Butahi dan Lombi dengan Tera ini seperti bersenang2, tau2
gerombolan sudah kepung dan berkata, "Angkat tangan! Menyerah!"

Yang Tera langsung LOOMPAT ke sungai. Entah mati, entah kena
ranjang, entah apa, pokoknya lompat ke sungai dan lari. Lari
mati!

Yang dua ditangkap benar2, dibawa, diseret2, disayat2, dan
mereka dikasi jeruk, dikasi garam, dikasi lombok, dan disiksa
habis2. Dipotong2, diiris2, lantas di siksa. Memang sebelum
kami mengungsi, mereka ini tentera gerombolan sebenarnya, jadi
gerombolan kenal siapa mereka tadinya. Menghianat, kiri2
begitu.

Ah, Tera inilah yang beri berita sama kami bahwa mereka itu
sudah begini keadaan. Setelah Tera ketemu dengan Laloasa, dsb.,
mereka ini terus ada mengintip bagaimana keadaan kawan2 kami
itu. Begitu Tera sudah ceritera, teman2 lain ini sudah datang
lihat bagaimana kawan2 ini. Mereka datang mengintai, begitu,
sebap kami waktu itu seperti takut, seperti tidak takut juga.
Jadi apa yang mereka berbuat, kami lihat, dan mereka seperti
lihat kami. Daerah itu kan daerah berbukit, jadi untuk
bergurilia itu memang bagus.

Sebenarnya tidak ada yang saksikan waktu mereka disiksa dan
dibunuh, tapi setelah mereka sudah mati, Laloasa dan Roboli
berhasil periksa mayat2 mereka, lalu terlihat bagaimana mereka
telah disayat2 dan disiksa dengan air lemon, lombok, dan garam.
Ternyata siksaan mereka itu memang berat sekali.

Ah, mereka sudah mati, dan sudah semalam. Malam berikutnya,
kira2 sudah hari kedua, hari ketiga, begitu, kami mau kuburkan
mereka. "Waduh, kasihan! Kita musti kuburkan mereka kapan?"
begitu.

Nah, begitu kami sedang berkumpul di satu pondok di Tompahulu,
ada dua orang, Latipu dengan Landawe, yang menyeberang dari
gunung Leduledu turun ke Palumba, datang ke Tompahulu. Mereka
menyeberang. Begitu mereka lewat di daerah itu, mereka tahu ada
gerombolan. Mereka lari dengan cepat. Mereka di gunung itu
baru selesai potong kerbau, jadi mereka bawa daging
kering--entah sudah dijemur, entah sudah diasap. Begitu mereka
datang, mereka bilang, "Di sana tadi kami lihat gerombolan."

Ah, teman2 langsung naik pohon cari. "Io. Betul. Mereka
menuju ke sini. Mereka lihat kalian punya bekas telapak kaki,
jadi mereka turut jalan ini."

Wah! Semua lari mengungsi! Wah! Siapa yang tinggal? Tinggal
12 orang untuk hadang mereka. Tapi ternyata setelah mereka
datang, lari juga ini orang. Tidak ada senapang: hanya punya
floit saja. Hanya tiup floit. floit apa? Tidak ada yang
meledak!

Ah, mereka kejar. Teman2 ini lari ke gunung--ke atas--sedangkan
kami, rombongan, lari ke bawah. Waktu kami sampai di bukit,
saya lihat teman2 ini bawa pikulan. Bawa dia punya baso. Bawa
dia punya bekal2. Saya kok lari tanpa bawa apa2! Ah, saya
pulang ambil saya punya baso ini. Baso saya itu ada dagingnya,
ada sagunya, ada damarnya, ada apa semua. Ah, saya pulang
ambil.

Sebelum saya ambil untuk dipikul, saya buang air besar. Wah,
pada waktu saya buang air besar, saya dengar seperti ada
langkah2 orang! Saya panggil: "Roboli! Roboli!"

Begitu saya pandang kesana, kok topi waja! Adouuh! Maut sudah
di depan ini! Saya lari seperti angin! Dan tempat saya lari
itu, lari turun ikut bekas kebun. Banyak pohon2 kayu yang sudah
lapuk. Jadi kalau saya pegang batang2 kayu lapuk ini, saya bawa
jauh sekali baru lepas. Saya pegang yang lain, jauh sekali baru
lepas. Begitu saya sampai di bukit di mana orang banyak, orang
lihat saya itu sudah hitam, dan celana saya sudah kotor dengan
tahi sendiri semuanya!

Begitu mereka lihat saya, mereka lari semua. Jadi mereka
bilang, "Untung Mapa pulang. Kalau tidak, kita pasti ada yang
kena, karena kita nanti dikepung oleh gerombolan itu.
Uuuntung!"

Oh, kami LARI sampai di mana baru dapat sungai baru saya cuci
kotoran2 tadi dari pakaian dan tubuh saya!

Terus saya, Woleangi, dengan Siaga ini tetap kami bersama. Kami
bertiga. Memang kami biasa berkumpul dan pergi2 bertiga.

Dan untungnya waktu itu bulan purnama, jadi kami lari semalam2an
ke Malili.

Setelah itu, cukup lama baru saya dapat percaya diri lagi.
Selama berapa bulan itu, saya TAKUT setengah mati. Saya takut
pergi, jangan2 nanti gerombolan ada di situ. Ah, untung ada
teman. Dia bilang, "Mereka itu juga orang--bukan babi. Babi
itu bisa tinggal sembarang rumput, kan? Tapi kalau orang, dia
juga tahu lapar, tahu dingin, kalau digigit serangga juga rasa
sakit. Jadi bukan tiap ada rumput itu di situ mereka."

"Oh, ia, ia, ia. Saya ini bodoh. Kenapa saya? Oh, ia."

Ah, dan biasa memang kalau kami pergi, di kantong baju ini ada
lombok. Jadi begitu nanti ada apa2, ini lombok kami makan
supaya kami jadi berani. Kami gigit lombok itu di mulut supaya
bikin kami berani.

Selama saya tinggal sendiri di hutan2, pikiran saya selalu
bagaimana saya mau rombak hutan itu, tanam kopi, dsb. Tapi
karena kami selalu dikejar2 gerombolan, cita2 ini tidak pernah
jadi. Kemudian saya berpikir bagaimana saya bisa keluar
merombak hidup saya yang seperti itu supaya jangan saya terus
begitu. Bukan saya benci hidup di hutan, tapi hanya saya
berpikir bagaimana saya bisa keluar dari situ. Mau-tidak-mau
kami harus keluar dari daerah itu, karena kami selalu dikejar,
dan kami harus cari bagaimana hidup. Kami harus cari ijasa2,
pas2,rebeweis, pas pelabuhan, dsb., supaya kami bisa hidup di
kota.

Kami waktu tinggal di hutan selalu tetapkan bahwa hari Minggu
kami pergi gereja, kami berkawan, kami perlu ada teman, dsb, dan
pada umumnya tidak ada pikiran mau tinggal terus di hutan saja.

Tapi satu kali lombi dan Siaga mengambil tekad, rupanya untuk
berpetualangan. Mereka punya pondok sendiri. Mereka bikin di
jauh, supaya tidak ketahuan orang. Kemudian mereka potong2 baso
pikulan mereka dengan parang, lalu membuangnya di tempat
terbuka. Maksudnya supaya nanti teman2 mereka yang menemukan
basu2 itu akan berkata, "O, teman2 kita sudah diambil
gerombolan." Padahal mereka mau hidup berdua sendiri di hutan.
Mereka sembunyi--tidak mau ikut orang, dan tidak mau turun lagi
dari hutan. Waktu itu umur mereka 19 atau 20an.

Setelah sudah kira2 tiga bulan kemudian, mereka kehabisan garam,
lalu mereka datang curi garam kami yang juga mencari di hutan.
Lalu kami kawan2 ini mulai curiga: "Ini siapa yang suka curi
garam ini?"

Akhirnya Laloasa cari2, lalu temukan pondok mereka di hulu
sungai, jauh di hutan. Laloasa waktu itu memang bekas tentara
Belanda dan gerombolan, dan kepala suku kami. Ia berhasil bujuk
mereka, lalu membawa mereka turun. Rambut mereka sudah panjang.
Mereka sebenarnya sudah mau turun, tapi malu2 hati. Kalau
tidak berkumpul dengan orang berapa lama kan kita rindu sama
orang. Kemudian mereka jinak lagi.

Ada juga satu orang tuah bernama Tehodu yang pernah tinggal
sendiri beberapa bulan di hutan. Dia hidup dengan makan ikan
dengan sagu. Pohon rumbia, kalau dia tebang, dia injak2 sekitar
dua baso saja untuk bikin sagu.

Ah, jalan2 itu waktu memang benar2 saya seperti tidak tahu masa
depan mau ke mana. Begitu saja saya cari hidup. Turun di
Malili bawa sagu, bawa damar, pulang lagi ke atas. Kami
tidur2an di atas, jalan kaki kesana kemari. Dan kalau kami
potong rumbia, musti ada yang jaga, jangan sampai gerombolan
datang, kami lengah. Dan pondok2 kami jauh di dalam hutan.
Kami musti lewat sungai, lewat apa. Gerombolan pernah operasi
di daerah kami. Mereka cari kami di hutan2 untuk dibunuh.
Barangsiapa yang lengah dibunuh.

Sunat, kalau dengan bahasa kami, dikatakan TINDIH atau TENINDIH,
dan dilakukan pada anak2 laki2 saja. Sebenarnya bukan sunat
keliling, seperti sunat biasa, tapi hanya sepotong kayu atau
sebilah sendok dimasukkan di bawah kulit bahagian atas, kulitnya
dibelah sedikit, lalu ditarik. Pada bangsa kami, sebenarnya
sunat itu terserah orangnya--cuma kalau tidak sunat, malu.
Kalau orang ketemu kami sambil mandi di sungai, lalu ternyata
tidak sunat, kami merasa malu--apalagi kalau sudah dewasa.
Tidak ada orang khusus yang mengerjakan sunat di bangsa kami.
Masing2 orang kerjakan sunatnya sendiri--di gunung, di hutan,
atau di mana saja. Sunat tidak dianjurkan, dan orang tuah juga
tidak perlu tahu.

Waktu saya sunat, kami tiga orang sedang ambil damar di
hutan--saya, siaga, dengan Woleangi. Woleangi sudah oom2,
sedangkan Siaga masih muda seperti saya. Kami sudah Islam, dan
sudah kembali lagi Kristen. Si Woleangi ini suka didik saya dan
Siaga dengan petunjuk2 hidup dan mengarahkan kami untuk apa
segala. "Kamu ini kenapa?" kata dia. "Ayo, mari sunat!" Jadi
Woleangi mengambil sendoknya, kami taruh di situ, lalu ia yang
belah kulit kami masing2 dengan pisau. Sakitnya sebentar saja,
terus dibungkus. Waktu itu kami ada dalam pondok. Memang kami
sudah siap dengan obat2 tradisional. Kemudian kami langsung
pergi bekerja mengambil damar dalam hutan. Tidak ada masaalah.
Tidak bengkak, tidak mengapa. Sudah ada obat tradisional supaya
tidak bengkak. Waktu itu saya sudah berumur 19 tahun.

Saya dengan calon mertua saya Landawe itu, saya belum tahu kalau
nanti akan jadi mertua. Dia sudah punya anak. Isteri saya
sudah lahir, tapi masih kanak2.

Si Landawe ini memang orang kuat. Kami pergi cari suatu
perangkap babi. Biasa kalau habis orang bikin sagu, babi suka
sekali makan sisa2nya. Di situlah kami pasang suatu tali dengan
kayu besar di atas supaya talinya kalau disenggol oleh babi,
jatuh ini kayu, prak! lantas lari ini babi. Ah, di tempat babi
mau lari ini kami sudah pasang juga banyak ranjau (belahan2
banbu yang sudah ditajamkan), yang dengan bahasa kami dikatakan
BINGKOBINGKO. Maksudnya kalau nanti babi lompat, akan kena
BINGKOBINGKO ini.

Ah, pada waktu kami sampai di sana, oh! bingkobingko ini
berhasil rupanya! Dari jauh sudah kelihatan kayu besarnya sudah
jatuh. Oh, kena! Oh, kita pergi lihat! Cari. Oh, dia turun
di sungai. Kita ikut ini sungai. Daerah ini namanya Samambalu.
Wah, mana? Oh, ada, ada! Oh, dia menyeberang! Waktu dia
menyeberang, lihat, oh, cuma sampai di sini, kok turun lagi!
Tidak bisa, oo, dia tidak bisa! Kami pulang ke seberang. Di
sini ada rumput putrimalu. Dia ada di situ. Sembunyi. Ou,
besar sekali! Dia masi belum mati! Dia masi kuat sekali!

Jadi malah kami dikejar. Babinya sudah bergading. Oh, kami
takut! Lari!

Tapi ini Landawu ini, karena dia memang orang kuat, orang
berakal juga, dia tombak itu babi dari jauh dengan tombak lepas.
Tas! Wuh, kena!

Sudah kena, kami turun kejar. Tombak saya diambil oleh Landawe.
Landawe tombak lagi.

Akhirnya kami potong, kami pikul dua orang, masih tinggal
sebagian yang kami tidak bawa. Kami pergi ke suatu lobang batu.
Di situlah kami potong, kami asap--satu malam, dua
malam--sampai kering, baru kami bawa turun ke Malili. Kami
pikul daging babi itu dengan sagu. Sagu di bawah, daging babi
di atas--sudah diikat2.

Ah, kalau mau dijual, sepuluh potong satu ikat--tapi sudah
kering, sudah bagus. Jadi tinggal kami gantung gantungan2 di
rumah, orang tanya: "Baru datang?"

"Ia."

"Mana?"

"Oh, ini."

Ah, sudah tinggal omong berapa.

Jadi dengan daging2 itu kami terkenal sebagai orang biasa bawa
daging.

"Ada engga?"

"O, Ada." Ah, "Ambil?" Sudah diikat2, nanti harganya sekian...

Jadi ceritera Landawe ini, setelah saya kawin dengan anaknya,
"Ia, dulu saya pernah sama bapak kamu!" (he-he-he).

Siaga sekarang pensionan ABRI di Bondowoso. Setelah kami
bersama, dia masuk tentara. Dia masuk Brawijaya di Palompo.

Dari awal Mei sampai dengan Juni 1957, saya cari damar, dapat
delapan baso.

Saya pernah pergi berkawan dengan Hanusu, delapan hari tidak
ketemu orang, hanya untuk damar satu baso saja. Masih hidup
dia, di kampung sekarang.

Pemandangan indah gunung di wawondula saat ini

Waktu itu ada satu daerah, namanya Korobite, di pinggir Danau
Towuti. Di sana banyak damar, tapi punya orang Bugis, jadi kami
curi mereka punya. Kami ambil, kami naik gunung, kami turun
gunung, kami menginap kalau sudah soreh. Kan kami bawa jam.
"O, sudah jam berapa? O, sekarang sudah jam empat. Lebih baik
kita istirahat di sini, di sungai. Kalau kita jalan lagi, tidak
sampai kita di pondok yang satu." Jadi kami bikin pondok saja
di situ.

Kami tebang sembarang kayu, lalu kami mengatur batang2 kayu
berjejeran di atas tanah. Kayu2 ini kemudian kami alas dengan
daun supaya agak lembut sedikit. Di atas ini kami taruh tikar.
Lantas kami kasi tiang ke atas, kasi kayu di atas, kami ambil
daun2 rotan--daun rotan itu kan bagus--terus taruh di atas,
ditumpuk lagi di atas dengan kayu supaya tidak terbang kalau
misalnya ada angin atau apa. Tapi di hutan tidak ada angin.
Tidak bocor. Kalau bocor pun, kami bawa payung boru tadi. Kami
tidur di bawah payung. Juga kami ada kain sarung. Orang capek
itu, di mana saja dia bisa tidur. Kalau hujan, bocor, kami
duduk di bawah payung. Kan di situ kami terus bikin api
sebelah-menyebelah. Kami bakar kayu besar2 di situ. Kan
gerombolan jauh dari situ--tidak ada tempatnya.

Kalau kami dekat2 daerah gerombolan,api itu kami hati2 sekali.
Kami tidak boleh bakar berasap--nanti ketahuan: "Ou, mereka ada
di sana! Itu asapnya! Wah, nanti kita kepung mereka!"

Kami bawa belanga seng--belanga dari blek. Blek mentega dua
kilogram, kita kasi ikat, kita kasi tutup. Atau ada juga memang
belanga seng. Begitu pertama kami berhenti, kami cepat bikin
air panas. Biasa kami bikin pondok dekat sungai, tapi kalau
kami tahu daerah di mana kami pergi nanti tidak ada air, kami
bawa air dari sungai dengan bambu. Kami taruh bambunya di dalam
baso, baru kami pikul. Masing2 kami sudah punya mangkok, dan
sudah ada kopi, ada gula. Biasa ada gula merah, ada gula putih,
yang kami bawa. Saat air mendidi, kami bikin kopi. Ah, setelah
kami minum, sudah hangat, baru kami masak nasi. Tapi karena
waktu itu kami susah di Malili, nasinya itu bukan beras
melainkan OYE. Oye itu dibuat dari ubi kayu. Ubi kayunya
direbus, terus disaring, terus jadi BERAS OYE. Oye lebih murah
dari beras, jadi kami bawa oye dari Malili. Sambil masak air
panas tadi, oyenya direndam. Selesai bikin kopi, belanga
dikosongkan untuk masak nasi oye. Air yang tadi rendam oye
dibuang, lalu oye dimasukkan ke dalam belanga. Oye ini sekarang
diputar2 sedikit di pinggir api sampai rasanya kering, lalu
belanganya ditutup sebentar. Tinggal kami masak sayurnya.
Untuk lauk, di samping daun2an, kami biasa bawa daging atau ikan
kering, terasi, dan lombok. Jadi kalau misalnya kami berdua,
belanga dia bikin sayur, belanga saya bikin nasi, supaya dua2
siap satu kali. Dan kalau kami tidak terlalu capek, biasa di
sungai2 banyak kepiting, jadi kami cari kepiting dengan senter
atau dengan obor damar. Kepiting ini kalau dengan bahasa kami
dikatakan BUNGKA. Bungka tidak besar. Agak kecil, tetapi enak.
Kalau di pinggir laut, banyak bungka bikin mabuk; tapi tidak
ada bungka bikin mabuk di daerah pegunungan. Pokoknya asal
sudah dimasak begitu, kasi asam, sudah, enak sekali.

Kami juga makan sagu, dan kami punya beberapa cara untuk
menghidangkannya. Kalau sagu dicampur dengan kelapa parut,
kemudian digoreng, itu namanya BEKELAU. Tapi belakangan orang
Bugis ajar kami dengan suatu cara lain yang dikatakan SINOLE.
Sagunya ditaruh di belanga, terus ditutup. DINUI adalah sagu
mentah yang disiram dengan air panas lalu diaduk2 seperti kanji.
Sagu seperti itu kalau sudah dingin dikatakan DINUI MOWATU.
MODUI adalah sagu yang dicampur dengan air panas seperti kanji
untuk dimakan dengan sayur-mayur dan ikan.

Bulan Juli, tahun 1957, saya tinggalkan daerah itu untuk pergi
ke Makasar ikut seorang bernama Haji Junait. Waktu itu saya
ambil damar ada tujuh baso (sekitar dua kwintal setengah) yang
saya jual kepada Haji Junait. Waktu itu Haji Junait tanyakan
kami pemuda2, "Siapa mau ikut saya untuk menjadi pembantu rumah
di Makasar?"

"O, saya mau! Saya mau! Saya mau!" Saya terus siap2, saya
ikut ini haji. Waktu itu Malili belum diserang habis. Kalau
tidak salah, daerah itu diserang habis tahun 1959, 1960, atau
1961.

Waktu itu juga orang mulai lari satu2 dari Malili cari jalan
melalui hutan untuk mengungsi ke Sulawesi Tengah. Kemudian satu
saat, Malili dibakar habis oleh Kahar Musakar. Orang2 lari
semua, mengungsi ke Wotu. Di Wotu mereka diserang juga, lalu
lari semuanya ke Palopo dan ke Sulawesi Tengah. Saat itu lagi
saya sudah tinggalkan daerah itu.

No comments:

Post a Comment