Seekor burung kutilang kecil melompat untuk kesekian kalinya
didalam sangkar bambu yang sempit dan kusam. Berulang-ulang menghantam
jeruji bambu. Mencoba berontak dan keluar, namun sia-sia.
Biasanya dia terbang bebas diatas ranting dan daun pohon angsana yang
rimbun. Siang dan malam yang berputar telah membentuk ia menjadi burung
yang lincah. Tembakan dari senapan angin yang diletuskan oleh orang yang
iseng telah banyak dilewati. Jebakan , lem tikus, terkaman kucing,
kejaran elang, intaian ular semua telah ia lalui. Namun sial menimpa
dia. Di suatu ketika ketika malam seorang pemburu menangkapnya ketika ia
tidur. Rupanya kehidupan dia ada yang mengamati.
Setelah capai menghantam tirai sangkar yang kokoh akhirnya menyerah. Dalam diam di teringat pesan ibunya. Seakan-akan tahu semua itu bakal terjadi. Ia terngiang pesan ibunya ketika mengusir dia untuk mandiri.
” Nak, kamu itu burung dan burung adalah mahluk bebas. Lambang kemerdekaan setiap bangsa.
Namun kau harus membayar kebebasan yang kamu miliki itu dengan bahaya yang bakal kamu hadapi.
Jadilah burung sejati dengan mau menerobos semuanya.
Jadilah burung sejati yang tetap riang walau di dalam sangkar.
Bernyanyilah ketika matahari timbul dan tenggelam.
Lagumu adalah kebebasanmu.
Kau boleh caci semua hal yang kamu benci.
Kau boleh ratapi semua nestapa yang kamu dapati.
Kau rangkaikan sedih gembiramu.
Jadikan nyanyian yang tak pernah jadi
Yang tak pernah selesai sampai kau dapati kebebasan sejati.”
Beberapa saat kemudian.. sang Kutilang mulai tenang, melihat keluar sangkar bambu dan mulai bernyanyi..
trilili.. li li li li.. lili..
Setelah capai menghantam tirai sangkar yang kokoh akhirnya menyerah. Dalam diam di teringat pesan ibunya. Seakan-akan tahu semua itu bakal terjadi. Ia terngiang pesan ibunya ketika mengusir dia untuk mandiri.
” Nak, kamu itu burung dan burung adalah mahluk bebas. Lambang kemerdekaan setiap bangsa.
Namun kau harus membayar kebebasan yang kamu miliki itu dengan bahaya yang bakal kamu hadapi.
Jadilah burung sejati dengan mau menerobos semuanya.
Jadilah burung sejati yang tetap riang walau di dalam sangkar.
Bernyanyilah ketika matahari timbul dan tenggelam.
Lagumu adalah kebebasanmu.
Kau boleh caci semua hal yang kamu benci.
Kau boleh ratapi semua nestapa yang kamu dapati.
Kau rangkaikan sedih gembiramu.
Jadikan nyanyian yang tak pernah jadi
Yang tak pernah selesai sampai kau dapati kebebasan sejati.”
Beberapa saat kemudian.. sang Kutilang mulai tenang, melihat keluar sangkar bambu dan mulai bernyanyi..
trilili.. li li li li.. lili..
No comments:
Post a Comment