Sebuah catatan perjalanan.
Makasar yang dulunya bernama Ujung pandang adalah pintu gerbang Indonesia timur. Disini semua pesawat dan kapal laut berlabuh. Mengisi bensin. Rehat sebentar sebelum melanjutkan perjalanannya. Entah itu ke menado , Maluku ataupun merauke. Disini pula perjalananku menelusuri Sulawesi selatan bermulai.
Perjalanan menggunakan sepeda motor ataupun kendaraan roda empat menyusuri Sulawesi selatan cukup melelahkan, pemandangan di perjalanan juga cukup membosankan. Antara Makasar sampai Parepare yang ada hanya jalan lurus dengan betonisasi buah karya yusuf kala yang belum selesai. Ide besarnya adalah membuat jalan panjang yang lebar dan mulus dari makasar sampai parepare agar daerah di pedalaman Sulawesi selatan turut serta terbangun. Terjamah dan terjangkau. Sehingga pembangunan di daerah terpencil bisa berlanjut.
Di awal awal pembangun jalan, tahun 2007, masih banyak terlihat pohon dan rumah disisi jalan. Rumah-rumah panggung khas bugis. Memang semenjak lepas dari maros suasana lapangnya jalan mulai terasa. Untung saya sempat merasakan rindangnya jalan di pare-pare sebelum hilang dan menjadi gersang seperti saat ini. Karena pembangunan harus jalan terus. Harus ada yang dikorbankan.
Sepanjang jalan, adalah biasa melihat penduduk bugis, mandi di pinggir jalan. Dengan menggunakan sarung yang diikat sampai ke leher jika ia wanita. Yang diikat dipinggang jika ia laki-laki. Mereka mandi seperti biasa kita mandi. Namun sambilberpakaian ,entah Cuma celana dalam atau ditutupi sarung. Setiap sore dan pagi rutin lah.. mandinya.
Ketika mampir di mesjid untuk shalat dan istirahat, baru menyadari. Tidak ada mesjid yang kecil di sepanjang jalan poros ini. Semua besar dan indah. Apakah ini membuktikan bahwa masyarkat Sulawesi selatan sudah sejahtera. Mungkin juga. Karena saya jarang menjumpai pengemis di perjalanan ini.
Makanan dan minuman adalah yang pertama dicari ketika istirahat. Hampir semua restoran menyajikan masakan laut. Mulai dari ikan bolu atau bandeng sampai ikan tongkol, tenggiri, udang dan lain-lain. Namun andalan hamper semua restoran adalah ikan bolu (dibaca bandeng). Dan yang membedakan orang bugis dengan orang jawa adalah, mereka orang bugis lebih menyukai kepala sedangkan orang jawa lebih menyukai ekor. Pas lah.
Satu lagi.. jangan kaget jika setiap makan disediakan jeruk nipis dan kuah sayur. Karena mereka mencampurkan hamper setiap masakan mereka dengan jeruk nipis. Walau itu air putih saja. Mungkin kebiasaan iini karena mereka harus menghilangkan amisnya ikan laut.
Pangkajene, Parepare, sidrap, soppeng, enrekang, makale, palopo, masamba, malili, sorowako. Semua sama. Jeruk nipis tidak pernah lupa.
Merangkum perjalanan ini. Pembangunan di Sulawesi terlihat maju apalagi ada rencana untuk membangun rel kereta api dari makasar sampai Malili. Dari daerah pantai di sepanjang perjalanan. Sampai daerah pegunungan . Padahal rasa-rasanya apa sih yang dicari di Sulawesi ini. Nikel di sorowako sudah menipis. Palopo masih belum memperlihatkan geliat ekonominya. Walau sidrap sudah maju dengan beras dan ayamnya, rasa-rasanya daerah lain disini masih tertinggal jauh. Walau ada tana toraja sebagai pintu ekonomi untuk pariwisata .
Sentra-sentra ekonomi masih belum bisa jauh dari makasar. Padahal potensi sentra ekonomi dan pembangunan di wilayah lainnya sangat banyak. Cocoa dan rumput laut berlimpah. Buah-buahan seperti langsat, rambutan dan duren banyak ditemui disini.
Namun karena presidennya masih orang jawa sehingga rasa-rasanya pembangunan tetap akan berkutat dipulau jawa. Mungkin aka nada saatnya jalan raya bertingkat-tingkat,karena jawa sudah padat. Dan jalan tol selalu padat pula. Sayang Habibie hanya sebentar jadipresiden,sayang juga Jusuf kala gagaljadi presiden. Suratan takdir memang lain. Rencana Tuhan kita tidak pernah tahu.
Monday, 26 December 2011
Monday, 19 December 2011
dari JAKARTA BIENNALE#14.2011
Jakarta Biennale XIV 2011 mengangkat tema besar "Maximum City: Survive or Escape?" Dengan tema ini, kami ingin mengajak para seniman untuk merespons fenomena Kota Jakarta yang sudah sesak. Sebab di saat yang bersamaan masyarakat Jakarta juga menempuh jalannya sendiri dalam mencoba bertahan atau malah kabur dari semua kesesakan ini. Apakah nantinya terjadi paralelisme antara tanggapan seniman dengan sikap masyarakat Jakarta terhadap kotanya, itulah yang akan teruji dalam biennale ini.
Di jakarta ini jadi orang harus tahan banting. Jika tidak kuat lebih baik menyingkir. Karena kota inilebih kejam dari ibu tiri. Makan minum dan tidur semua berlangsung cepat. Pagi macet sore macet. Malam terang siang hiruk pikuk. Warga kaya di gedung mewah hidup bersebelahan dengan kaum miskin di tenda-tenda kumuh pinggir sungai. Budaya modern-rasional berdiri sejajar dengan yang tradisional-mistis. Begitu pula antara semangat komunal dan individual, paham sektarian-fundamentalis dan multikultursalis-liberalis
Kota yang sangar dan sumpek. Penduduknya mencapai 9 juta orang, tetapi bisa membengkak menjadi sekitar 12 juta orang jika memperhitungkan para pekerja dari pinggiran yang memenuhi Jakarta siang hari.
Jadi mana mau dipilih : bertahan di sini atau pulang kampung? Survive or Escape?
Sunday, 18 December 2011
Mancing mancing..
Menikmati siang yang panas dengan membuang waktu
Di belakang rumah melamun
hidup tidak usah ngoyo
buang marah dan iri
kedamaian dan kekayaan pasti kan datang
dan
mudahmudahan udang atau papuyu, atau mungkin haruan yang datang kali ini
Friday, 16 December 2011
Bikin Buku : Rahasia Menjadi Self Publisher
by : Abdi Husairi Nasution
Menerbitkan buku sendiri merupakan cita-cita setiap penulis maupun orang-orang yang suka nulis. Pengalaman pertama JK Rowling bisa dijadikan contoh betapa susahnya dia menerbitkan buku seri pertama Harry Potter-nya waktu itu. Setiap penerbit yang didatangi selalu beranggapan kalau cerita Harry Potter itu tak biasa, aneh, dan bakal tak diterima pasar karena tak mengikuti trend di masa itu. Dan mereka pun menolaknya. Hingga akhirnya ada satu penerbit yang berani menanggung risiko dan optimis kalau Harry Potter bakal disukai anak-anak dan banyak orang. Optimisme itu terbukti benar, Harry Potter pun menjadi buku Best Seller sepanjang massa, dan sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Andai JK Rowling punya modal sedikit, pasti dia akan menerbitkan sendiri Harry Potter-nya itu. Namun Rowling tak punya uang untuk itu. Apalagi kemudahan seperti yang diperoleh Vira Classic di atas belum ada. Waktu itu belum ada situs Nulisbuku.com untuk mengupload dan menjual naskah yang mau diterbitin secara indie, dan belum ada juga pixlr.com untuk membuat cover buku sendiri. Beruntung kita punya situs itu di masa sekarang. Paling tidak bisa membantu penulis-penulis yang ingin punya buku sendiri.
Namun, apakah cukup sampai di situ, tentu tidak. Selain butuh ongkos cetak, design lay-out, penentuan ukuran buku, dan sebagainya, kita juga butuh pendistribusian buku-buku itu pada pembaca (atau calon pembeli). Untuk masalah pendistribusian ini pun sebenarnya tak perlu dipikirkan dan tak ada masalah. Cara yang dilakukan Vira Classic merupakan salah satu alternatif, namun cara ini akan memakan waktu lama karena harus menunggu pesanan dari calon pembeli. Cara lain adalah bekerja sama dengan penerbit besar yang punya jalur distribusi cukup luas, dan mereka siap membantu, tinggal urusan fee yang perlu disepakati (kalau dilakukan sendiri bisa butuh biaya besar tentunya).
Cara-cara penerbitan buku secara indie tersebut sudah dilakukan di negara-negara maju di Eropa maupun Amerika jauh sebelumnya. Bahkan saat punya kesempatan mengunjungi Frankfurt Book Fair delapan tahun lalu, saya sempat nanya-nanya ke salah satu stand penerbit Rusia. Penerbitan mereka cuma punya 5 personil, yang cuma mengurusi royalti penulis, keuangan, design, editor, dan pendistribusian/penjualan. Untuk urusan design buku sudah mereka serahkan pada perusahaan out sourcing, demikian pula dengan editorial. Untuk urusan penyimpanan dan pendistribusian, mereka kerja sama dengan jaringan usaha penyedia kegiatan tersebut. Hebatnya, mereka sudah punya puluhan ribu judul buku yang terjual di berbagai negara.
Teman-teman saya juga sudah melakukan hal yang sama (menyusul saya tentunya). Teman-teman saya itu menerbitkan buku mereka sendiri dengan prosedur dan tahapan berikut (ini sudah menjadi prosedur standar seperti yang dilakukan Vira Classic dan Andi Gunawan).
1.Menentukan naskah yang akan diterbitkan
2.Menentukan lay-out naskah dan ukuran buku yang akan diterbitkan
3.Membuat ISBN - International Standard Book Number
4.Mencetak naskah setelah design selesai
5.Penentuan harga buku
6.Mendistribusikan buku pada pembaca
Bagaimana dengan biaya-biaya yang dibutuhkan untuk melakukan keenam tahapan itu? Untuk penentuan naskah yang mau diterbitkan bisa dilakukan sendiri, jadi gratis. Untuk urusan design bisa diserahkan pada orang lain atau dilakukan sendiri untuk menghemat biaya namun menyita waktu, kecuali kita ini pengangguran. Kalau dikerjakan orang lain tentu hasilnya akan lebih memuaskan dan design isi buku juga akan lebih menarik dan bagus. Namun perlu biaya, biasanya dikenakan biaya per lembar, rata-rata antara 5000 hingga 20.000 Rupiah per lembarnya, tergantung sang designer, kalau teman kita sendiri harga itu bisa ditekan (kalau tega).
Selesai pendesainan, kita perlu mencetak isi buku tersebut, kecuali kalau kita mau menjualnya dalam bentuk ebook, tak perlu susah-susahlah mencetak. Namun sebelum buku dicetak, kita perlu membuat ISBN terlebih dahulu. Untuk beberapa peenerbit indie suka nggak buat ISBN, ribet katanya. Berdasarkan informasi yang langsung saya kutip dari situs Wikipedia, ISBN atau International Standard Book Number (arti harfiah Bahasa Indonesia: Angka Buku Standar Internasional) adalah pengindentikasi unik untuk buku-buku yang digunakan secara komersial. Sistem ISBN diciptakan di Britania Raya pada tahun 1966 oleh seorang pedagang buku dan alat-alat tulis W.H. Smith dan mulanya disebut Standard Book Numbering atau SBN (digunakan hingga tahun 1974). Sistem ini diadopsi sebagai standar internasional ISO 2108 tahun 1970. Pengidentikasi serupa, International Standard Serial Number (ISSN) digunakan untuk publikasi periodik seperti majalah.
ISBN diperuntukkan bagi penerbitan buku. Nomor ISBN tidak bisa dipergunakan secara sembarangan, diatur oleh sebuah lembaga internasional yang berkedudukan di Berlin, Jerman. Untuk memperolehnya bisa menghubungi perwakilan lembaga ISBN di tiap negara yang telah ditunjuk oleh lembaga internasional ISBN. Perwakilan lembaga internasional ISBN di Indonesia adalah Perpustakaan Nasional yang beralamat di Jalan Salemba, Jakarta.
Nomor ISBN dapat diperoleh dengan menghubungi Perpustakaan Nasional dengan cara datang langsung atau melalui faksimil dengan ketentuan berikut
1.Mengirimkan atau membawa surat permohonan yang berisi judul buku beserta sinopsis buku yang akan diterbitkan.
2.Membayar biaya administrasi Rp 25.000/judul buku (di negar-negara tertentu seperti Malaysia tidak dikenai biaya apa pun)
Proses untuk memperoleh nomor ISBN tidaklah rumit, terlebih bila datang sendiri ke Perpustakaan Nasional hanya memerlukan waktu beberapa jam.
ISBN terdiri dari 10 digit nomor dengan urutan penulisan adalah kode negara-kode penerbit-kode buku-no identifikasi.
Namun, mulai Januari 2007 penulisan ISBN mengalami perubahan mengikuti pola EAN (European Article Numbering System), yaitu 13 digit nomor. Perbedaannya hanya terletak pada tiga digit nomor pertama ditambah 978. Jadi, penulisan ISBN 13 digit adalah 978-kode negara-kode penerbit-kode buku-no identifikasi. Prefiks ISBN untuk negara Indonesia adalah 979 dan 602. Contoh pola ISBN untuk buku-buku di Indonesia:
978-602-penerbit-kode buku-no identifikasi
979-979-penerbit-kode buku-no identifikasi
979-602-penerbit-kode buku-no identifikasi
Catatan: untuk dua pola akhir belum digunakan dan akan digunakan apabila prefiks 978 sudah penuh. Hal ini berlaku untuk semua negara dimana prefiks awal 979 menggantikan penempatan prefiks 978.
Untuk biaya cetak carilah yang termurah (sudah pasti), apalagi kalau design buku yang sederhana tentu akan lebih murah lagi ongkos cetaknya. Kalau isi buku berwarna butuh biaya cetak yang besar, apalagi kalau dicetak di atas kertas art paper, akan lebih mahal lagi. Saat ini biaya cetak berkisar antara Rp3.000 hingga Rp30.000 per buku. Asumsi harga ini tergambar dari harga-harga buku yang beredar di toko buku. Misalnya, kalau harga buku itu sekitar Rp21.000 maka ongkos cetaknya sekitar Rp3000 per buku. Kalau harga buku Rp210.000 maka ongkos cetaknya itu berkisar 30.000. Ketebalan buku juga sangat menentukan harga. Untuk menentukan harga buku ini ada penjelasan khusus (sabar ya).
Prinsipnya dalam dunia percetakan, biaya cetak akan semakin murah kalau cetaknya banyak. Rata-rata, penulis-penulis indie mencetak bukunya berkisar antara 500 hingga 2000 eksemplar (eks). Harga cetak 500 eks itu hampir sama dengan 1000 eks (beda tipislah). Jadi daripada nyetak 500 mendingan nyetak 1000 eks. Dan harga cetak 1000 eks itu lebih mahal daripada nyetak 2000 eks, jadi lebih baik nyetak 2000 eks. Kalau nyetak cuma 500 eks, harga buku jadi lebih mahal. Rata-rata setiap penerbit komersil untuk cetakan pertama, cetak bukunya berkisar antara 3000 hingga 10.000 eks (kecuali buku pelajaran yang bisa mencapai 30.000 eks untuk cetakan pertama).
Habis nyetak, yang perlu dipikirkan adalah penentuan harga jual buku. Salah satu cara yang paling sering digunakan antara lain ongkos produksi dikali tujuh (Biaya Produksi X 7). Ongkos produksi ini dihitung mulai biaya desain, cetak, dan wara-wiri (biaya transport). Pengalaman beberapa teman saya, untuk satu judul buku rata-rata mereka bisa menghabiskan dana sekitar Rp10-15juta. Kalau total biaya produksi yang dihabiskan sekitar Rp10 juta dan buku yang dicetak sebanyak 2000 eks berarti ongkos produksi sekitar Rp5000 setiap bukunya. Jadi, harga buku itu bisa mencapai: Rp35.000 (Rp5000 x 7). Keuntungan yang diperoleh dari menjual 1000 eks saja bisa mencapai Rp35juta, berarti dapat untung sekitar Rp25juta. Andai sisa 1000 eks lagi tak laku atau dijual murah, kita tetap masih untung. Bisa dibayangkan sebuah penerbit besar dapat keuntungan tiap tahunnya berapa?
Tahap terakhir adalah masalah pendistribusian. Saat ini masalah prndistribusian tak perlu dikhawatirkan, banyak penerbit besar yang bersedia mendistribusikan buku kita ke berbagai toko buku dan penjuru nusantara. Biasanya fee yang dibayarkan berdasarkan kesepakatan masing-masing. Sebuah distributor buku adakalanya meminta margin keuntungan paling tinggi sebesar 60 banding 40, 60% keuntungan buat mereka sedang 40% buat kita. Andai keuntungan mencapai Rp25juta maka Rp15juta buat mereka, sisanya Rp10juta buat kita. Berarti kita masih dapat untung 10juta untuk biaya produksi 10juta (lumayan kan). Itu kalau yang laku 1000 eks, kalau lebih dari itu tentu lebih banyak lagi. Kalau tak laku? Hmmm, namanya juga bisnis.
Keuntungan menggunakan jasa distributor buku itu antara lain kita tak perlu repot memikirkan biaya distribusi, transportasi, iklan, maupun gaji marketing, kita tinggal terima laporan hasil penjualan dan pembagian keuntungan. Bayangkan kalau kita harus mendistribusikan buku sendiri, tentu repot. Apalagi kalau kita tak punya jaringan atau transportasi, pasti lebih repot. Kalau mau menjual ke toko buku juga banyak persyaratannya, harus punya NPWP, SIUP, dan sebagainya. Belum lagi pembagian keuntungan yang hampir sama dengan jasa ditributor.
Cara-cara menjadi self publisher di atas merupakan satu alternatif kalau mau berorientasi profit. Kalau mau pakai cara Vira Classic juga boleh, tapi jangan harap bisa cepat dapat profit. Kalau untuk pemula bolehlah, malah sangat dianjurkan, hitung-hitung buat belajar bisnis di dunia perbukuan. Kalau sudah tahu, tak salahlah menjadi lebih profesional. Siapa tahu bisa seperti Gramedia .
Terima kasih..
Sisiku yang lain bisa diobok-obok di www.abdi-husairi.blogspot.com dan http://yandanesia.blogspot.com/
Menerbitkan buku sendiri merupakan cita-cita setiap penulis maupun orang-orang yang suka nulis. Pengalaman pertama JK Rowling bisa dijadikan contoh betapa susahnya dia menerbitkan buku seri pertama Harry Potter-nya waktu itu. Setiap penerbit yang didatangi selalu beranggapan kalau cerita Harry Potter itu tak biasa, aneh, dan bakal tak diterima pasar karena tak mengikuti trend di masa itu. Dan mereka pun menolaknya. Hingga akhirnya ada satu penerbit yang berani menanggung risiko dan optimis kalau Harry Potter bakal disukai anak-anak dan banyak orang. Optimisme itu terbukti benar, Harry Potter pun menjadi buku Best Seller sepanjang massa, dan sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Andai JK Rowling punya modal sedikit, pasti dia akan menerbitkan sendiri Harry Potter-nya itu. Namun Rowling tak punya uang untuk itu. Apalagi kemudahan seperti yang diperoleh Vira Classic di atas belum ada. Waktu itu belum ada situs Nulisbuku.com untuk mengupload dan menjual naskah yang mau diterbitin secara indie, dan belum ada juga pixlr.com untuk membuat cover buku sendiri. Beruntung kita punya situs itu di masa sekarang. Paling tidak bisa membantu penulis-penulis yang ingin punya buku sendiri.
Namun, apakah cukup sampai di situ, tentu tidak. Selain butuh ongkos cetak, design lay-out, penentuan ukuran buku, dan sebagainya, kita juga butuh pendistribusian buku-buku itu pada pembaca (atau calon pembeli). Untuk masalah pendistribusian ini pun sebenarnya tak perlu dipikirkan dan tak ada masalah. Cara yang dilakukan Vira Classic merupakan salah satu alternatif, namun cara ini akan memakan waktu lama karena harus menunggu pesanan dari calon pembeli. Cara lain adalah bekerja sama dengan penerbit besar yang punya jalur distribusi cukup luas, dan mereka siap membantu, tinggal urusan fee yang perlu disepakati (kalau dilakukan sendiri bisa butuh biaya besar tentunya).
Cara-cara penerbitan buku secara indie tersebut sudah dilakukan di negara-negara maju di Eropa maupun Amerika jauh sebelumnya. Bahkan saat punya kesempatan mengunjungi Frankfurt Book Fair delapan tahun lalu, saya sempat nanya-nanya ke salah satu stand penerbit Rusia. Penerbitan mereka cuma punya 5 personil, yang cuma mengurusi royalti penulis, keuangan, design, editor, dan pendistribusian/penjualan. Untuk urusan design buku sudah mereka serahkan pada perusahaan out sourcing, demikian pula dengan editorial. Untuk urusan penyimpanan dan pendistribusian, mereka kerja sama dengan jaringan usaha penyedia kegiatan tersebut. Hebatnya, mereka sudah punya puluhan ribu judul buku yang terjual di berbagai negara.
Teman-teman saya juga sudah melakukan hal yang sama (menyusul saya tentunya). Teman-teman saya itu menerbitkan buku mereka sendiri dengan prosedur dan tahapan berikut (ini sudah menjadi prosedur standar seperti yang dilakukan Vira Classic dan Andi Gunawan).
1.Menentukan naskah yang akan diterbitkan
2.Menentukan lay-out naskah dan ukuran buku yang akan diterbitkan
3.Membuat ISBN - International Standard Book Number
4.Mencetak naskah setelah design selesai
5.Penentuan harga buku
6.Mendistribusikan buku pada pembaca
Bagaimana dengan biaya-biaya yang dibutuhkan untuk melakukan keenam tahapan itu? Untuk penentuan naskah yang mau diterbitkan bisa dilakukan sendiri, jadi gratis. Untuk urusan design bisa diserahkan pada orang lain atau dilakukan sendiri untuk menghemat biaya namun menyita waktu, kecuali kita ini pengangguran. Kalau dikerjakan orang lain tentu hasilnya akan lebih memuaskan dan design isi buku juga akan lebih menarik dan bagus. Namun perlu biaya, biasanya dikenakan biaya per lembar, rata-rata antara 5000 hingga 20.000 Rupiah per lembarnya, tergantung sang designer, kalau teman kita sendiri harga itu bisa ditekan (kalau tega).
Selesai pendesainan, kita perlu mencetak isi buku tersebut, kecuali kalau kita mau menjualnya dalam bentuk ebook, tak perlu susah-susahlah mencetak. Namun sebelum buku dicetak, kita perlu membuat ISBN terlebih dahulu. Untuk beberapa peenerbit indie suka nggak buat ISBN, ribet katanya. Berdasarkan informasi yang langsung saya kutip dari situs Wikipedia, ISBN atau International Standard Book Number (arti harfiah Bahasa Indonesia: Angka Buku Standar Internasional) adalah pengindentikasi unik untuk buku-buku yang digunakan secara komersial. Sistem ISBN diciptakan di Britania Raya pada tahun 1966 oleh seorang pedagang buku dan alat-alat tulis W.H. Smith dan mulanya disebut Standard Book Numbering atau SBN (digunakan hingga tahun 1974). Sistem ini diadopsi sebagai standar internasional ISO 2108 tahun 1970. Pengidentikasi serupa, International Standard Serial Number (ISSN) digunakan untuk publikasi periodik seperti majalah.
ISBN diperuntukkan bagi penerbitan buku. Nomor ISBN tidak bisa dipergunakan secara sembarangan, diatur oleh sebuah lembaga internasional yang berkedudukan di Berlin, Jerman. Untuk memperolehnya bisa menghubungi perwakilan lembaga ISBN di tiap negara yang telah ditunjuk oleh lembaga internasional ISBN. Perwakilan lembaga internasional ISBN di Indonesia adalah Perpustakaan Nasional yang beralamat di Jalan Salemba, Jakarta.
Nomor ISBN dapat diperoleh dengan menghubungi Perpustakaan Nasional dengan cara datang langsung atau melalui faksimil dengan ketentuan berikut
1.Mengirimkan atau membawa surat permohonan yang berisi judul buku beserta sinopsis buku yang akan diterbitkan.
2.Membayar biaya administrasi Rp 25.000/judul buku (di negar-negara tertentu seperti Malaysia tidak dikenai biaya apa pun)
Proses untuk memperoleh nomor ISBN tidaklah rumit, terlebih bila datang sendiri ke Perpustakaan Nasional hanya memerlukan waktu beberapa jam.
ISBN terdiri dari 10 digit nomor dengan urutan penulisan adalah kode negara-kode penerbit-kode buku-no identifikasi.
Namun, mulai Januari 2007 penulisan ISBN mengalami perubahan mengikuti pola EAN (European Article Numbering System), yaitu 13 digit nomor. Perbedaannya hanya terletak pada tiga digit nomor pertama ditambah 978. Jadi, penulisan ISBN 13 digit adalah 978-kode negara-kode penerbit-kode buku-no identifikasi. Prefiks ISBN untuk negara Indonesia adalah 979 dan 602. Contoh pola ISBN untuk buku-buku di Indonesia:
978-602-penerbit-kode buku-no identifikasi
979-979-penerbit-kode buku-no identifikasi
979-602-penerbit-kode buku-no identifikasi
Catatan: untuk dua pola akhir belum digunakan dan akan digunakan apabila prefiks 978 sudah penuh. Hal ini berlaku untuk semua negara dimana prefiks awal 979 menggantikan penempatan prefiks 978.
Untuk biaya cetak carilah yang termurah (sudah pasti), apalagi kalau design buku yang sederhana tentu akan lebih murah lagi ongkos cetaknya. Kalau isi buku berwarna butuh biaya cetak yang besar, apalagi kalau dicetak di atas kertas art paper, akan lebih mahal lagi. Saat ini biaya cetak berkisar antara Rp3.000 hingga Rp30.000 per buku. Asumsi harga ini tergambar dari harga-harga buku yang beredar di toko buku. Misalnya, kalau harga buku itu sekitar Rp21.000 maka ongkos cetaknya sekitar Rp3000 per buku. Kalau harga buku Rp210.000 maka ongkos cetaknya itu berkisar 30.000. Ketebalan buku juga sangat menentukan harga. Untuk menentukan harga buku ini ada penjelasan khusus (sabar ya).
Prinsipnya dalam dunia percetakan, biaya cetak akan semakin murah kalau cetaknya banyak. Rata-rata, penulis-penulis indie mencetak bukunya berkisar antara 500 hingga 2000 eksemplar (eks). Harga cetak 500 eks itu hampir sama dengan 1000 eks (beda tipislah). Jadi daripada nyetak 500 mendingan nyetak 1000 eks. Dan harga cetak 1000 eks itu lebih mahal daripada nyetak 2000 eks, jadi lebih baik nyetak 2000 eks. Kalau nyetak cuma 500 eks, harga buku jadi lebih mahal. Rata-rata setiap penerbit komersil untuk cetakan pertama, cetak bukunya berkisar antara 3000 hingga 10.000 eks (kecuali buku pelajaran yang bisa mencapai 30.000 eks untuk cetakan pertama).
Habis nyetak, yang perlu dipikirkan adalah penentuan harga jual buku. Salah satu cara yang paling sering digunakan antara lain ongkos produksi dikali tujuh (Biaya Produksi X 7). Ongkos produksi ini dihitung mulai biaya desain, cetak, dan wara-wiri (biaya transport). Pengalaman beberapa teman saya, untuk satu judul buku rata-rata mereka bisa menghabiskan dana sekitar Rp10-15juta. Kalau total biaya produksi yang dihabiskan sekitar Rp10 juta dan buku yang dicetak sebanyak 2000 eks berarti ongkos produksi sekitar Rp5000 setiap bukunya. Jadi, harga buku itu bisa mencapai: Rp35.000 (Rp5000 x 7). Keuntungan yang diperoleh dari menjual 1000 eks saja bisa mencapai Rp35juta, berarti dapat untung sekitar Rp25juta. Andai sisa 1000 eks lagi tak laku atau dijual murah, kita tetap masih untung. Bisa dibayangkan sebuah penerbit besar dapat keuntungan tiap tahunnya berapa?
Tahap terakhir adalah masalah pendistribusian. Saat ini masalah prndistribusian tak perlu dikhawatirkan, banyak penerbit besar yang bersedia mendistribusikan buku kita ke berbagai toko buku dan penjuru nusantara. Biasanya fee yang dibayarkan berdasarkan kesepakatan masing-masing. Sebuah distributor buku adakalanya meminta margin keuntungan paling tinggi sebesar 60 banding 40, 60% keuntungan buat mereka sedang 40% buat kita. Andai keuntungan mencapai Rp25juta maka Rp15juta buat mereka, sisanya Rp10juta buat kita. Berarti kita masih dapat untung 10juta untuk biaya produksi 10juta (lumayan kan). Itu kalau yang laku 1000 eks, kalau lebih dari itu tentu lebih banyak lagi. Kalau tak laku? Hmmm, namanya juga bisnis.
Keuntungan menggunakan jasa distributor buku itu antara lain kita tak perlu repot memikirkan biaya distribusi, transportasi, iklan, maupun gaji marketing, kita tinggal terima laporan hasil penjualan dan pembagian keuntungan. Bayangkan kalau kita harus mendistribusikan buku sendiri, tentu repot. Apalagi kalau kita tak punya jaringan atau transportasi, pasti lebih repot. Kalau mau menjual ke toko buku juga banyak persyaratannya, harus punya NPWP, SIUP, dan sebagainya. Belum lagi pembagian keuntungan yang hampir sama dengan jasa ditributor.
Cara-cara menjadi self publisher di atas merupakan satu alternatif kalau mau berorientasi profit. Kalau mau pakai cara Vira Classic juga boleh, tapi jangan harap bisa cepat dapat profit. Kalau untuk pemula bolehlah, malah sangat dianjurkan, hitung-hitung buat belajar bisnis di dunia perbukuan. Kalau sudah tahu, tak salahlah menjadi lebih profesional. Siapa tahu bisa seperti Gramedia .
Terima kasih..
Sisiku yang lain bisa diobok-obok di www.abdi-husairi.blogspot.com dan http://yandanesia.blogspot.com/
Monday, 12 December 2011
Film Animasi Indonesia Terkeren : Pada Suatu Ketika by LakonAnimasi
Independence day + Transformers + Upin&Ipin = Indonesia banget !!
Ini adalah contoh kekuatan film animasi Indonesia sebetulnya.
Setiap detil, dari mulai orang sampai teko, dari bajaj sampai motor adalah khas Indonesia banget.
aslinya lihat di http://vimeo.com/33383100
Ini adalah contoh kekuatan film animasi Indonesia sebetulnya.
Setiap detil, dari mulai orang sampai teko, dari bajaj sampai motor adalah khas Indonesia banget.
aslinya lihat di http://vimeo.com/33383100
Seandainya saya menjadi Anggota DPD RI jangan sampai kerja cuma 5 tahun dipenjara 10 tahun.
Seandainya saya menjadi Anggota DPD RI, akan saya ingat 3 fungsi dan tugas utama saya dalam mengembangkan dan menyejahterakan daerah-daerah di Indonesia, yaitu sebagai legislasi, pertimbangan dan pengawasan pada bidang-bidang terkait. Karena itu saya akan membuat batasan yang jelas mana yang harus dan boleh diambil dan mana yang tidak. Sehingga saya bisa bekerja dengan baik dan benar, jangan sampai kerja cuma 5 tahun dipenjara 10 tahun. Amit-amit.
Dalam melaksanakan Fungsi Legislasi dimana Tugas dan wewenangnya meliputi membahas Rancangan Undang-Undang yang dajukan pemerintah kepada DPR maka Saya akan hadir dalam sidang dan tidak tidur dalam membahas RUU. Dan jika RUU nya tidak memenuhi kaidah dan kehendak rakyat secara umum maka saya akan mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang nantinya bisa memenuhi rasa keadilan dan demi memajukan kesejahteraan masyarakat. Dan agar mampu bertugas dengan baik saya akan bawa doping tradisional, kopi hitam pekat yang disimpan dalam termos kecil agar bisa melek dan tetap segar dalam bertugas. Walau mungkin tidak sesederhana ini.
Dalam melaksanakan Fungsi Pertimbangan, saya akan memberikan pertimbangan kepada DPR berdasarkan aspirasi rakyat yang saya terima. Entah itu dari media elektronik maupun dari surat kabar. Atau dari manapun yang sampai ke saya dan saya akan memberitakan hasil dan perkembangan suatu issue yang telah selesai dan sedang berlangsung di DPD melalui media dan blog saya. Hari gini harus punya blog dong..
Dalam melaksanakan Fungsi Pengawasan, saya akan melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Mungkin Saya akan lebih teliti ketika membahas hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK dalam bidang pendidikan, dan agama. Karena melihat kenyataan yang ada dilapangan bahwa banyak sekolah yang ambruk walau belum setahun dibangun dan rangking 1-nya departemen
Agama sebagai departemen yang paling korup di Indonesia.
Ketika masa reses tiba, dan ada waktu luang bagi saya untuk study banding keliling nusantara. Untuk melihat daerah mana yang bagus daerah mana yang parah dalam kesejahteraan, pendidikan dan akses masuk ke wilayahnya. Sudah pasti saya catat, sehingga saya ingat dan tahu langkah-langkah apa yang harus dilakukan dan diambil ketika waktu kerja tiba. Mungkin saja saya datang berkunjung ke kelurahan di Cisewu Garut yang sering dilanda longsor, atau menengok kota Sidrap di Sulawesi yang subur dengan beras dan ayamnya sambil mencari tahu bagaimana kota ini bersih dari pengemis dan peminta-minta di jalan. Atau mungkin ke Mahalona di Luwu Timur untuk melihat nasib transmigran yang ada disana sekarang.
Namun ini cuma khayalan saja.. Mudah-mudahan saya menjadi Anggota DPD RI beneran, dan bisa mewujudkan hal ini.. Amien.
Friday, 9 December 2011
Ketika Johar arifin cuci tangan
Persipura gagal ikut AFC. Semua saling menyalahi.. Point utamanya hilang, bahwa Persipura ikut di AFC mewakili Indonesia. Dan kemarin Ketua Umum PSSI Djohar Arifin Husin mengatakan bahwa pemain yang bermain di Indonesia Super League (ISL) tak boleh membela tim nasional.
“Kompetisi sah adalah kompetisi yang dipimpin Ketua Umum PSSI. Di luar itu, tidak sah. Nanti, kami akan laporkan kepada AFC,” katanya dalam kata sambutan acara syukuran di kediaman Djohar Arifin Husin, Selasa (22/11/2011) malam. PSSI hanya mengakui Indonesian Premier League (IPL) sebagai kompetisi yang sah. Kompetisi di luar PSSI, seperti Indonesian Super League (ISL), adalah kompetisi yang ilegal. Ini bukan kemauan PSSI. Tidak bolehnya pemain di luar kompetisi PSSI tampil di timnas ini merupakan regulasi dari FIFA. Saya sudah katakan kepada Rahmad waktu lawan Galaxy, pilih semua pemain dari mana saja. Artinya, kita ingin semua bisa bela ‘Merah Putih’, tapi ini ketentuan dari FIFA. Kalau tetap memainkan pemain yang bermain di luar kompetisi resmi, kita akan di-banned, akan dihukum,” katanya.
Sehebat apapun orang, setelah mencicipi rasanya uang maka nafsunya pasti bertambah. Kita sering mengingat sejarah hanya tanggalnya saja. Esensi dan cara jalannya cerita itu jadi sejarah dilupakan. Gagasan tentang sepakbola yang maju dan indah dibuat populer dan diterima oleh mayoritas orang ketika kongres. Dengan memberi ini memberi itu. Dengan mengganti Nurdin Halid akan begini, bahwa memilih saya akan begitu, semuanya diciptakan dengan kata-kata dan janji yang indah. Beginilah cara anggota kongres memungut suara untuk menghukum Nurdin Halid. Dan semuanya menjadi sah secara konstitusional.
Dalam kenyataannya beliau malah menghukum kebanyakan orang yang turut memberi suara itu. Menyakiti hati rakyat pecinta bola di Indonesia dan dengan bangga menyatakan semua salah mereka.
Yang dilupakan oleh beliau adalah setiap orang kaya tidak akan menurut begitu saja. Mereka pasti bereaksi. Mereka punya uang. Punya kekuasaan, punya keinginan untuk mengubah sesuatu. Mereka tidak akan diam saja membiarkan aset dan dagangannya hilang. Liga Indonesia pasti punya sumber untuk melakukan perubahan dan mereka lakukan itu.
Akhirnya saya dan orang-orang lainnya yang tidak mempunyai sumber yang sama jadi hanya duduk dan menonton kelakuan orang-orang seperti itu.
Perang antara yang kaya dan yang kaya telah berlangsung lama, dan akan berlangsung selamanya sampai pemimpin itu sadar bahwa dia sedang diperalat. Bahwa dia sedang dijadikan mainan. Bahwa dia cuma bidak catur yang bisa dikorbankan jika terlihat membahayakan aset dagangannya. Sepak bola Indonesia mau hancur atau Papua mau merdeka emang gue pikirin, yang penting bisnis gue jalan. Harta gue bertambah.
Jadi siapa yang untung dengan kemelut PSSI ? kita sudah tahu siapa. Terus siapa yang dirugikan ? sudah pasti kita semua, pecinta bola dari sabang sampai Merauke.
Kalau dia punya niat baik pasti ada jalan. Atau musyawarah memang sudah kalah ama uang.
Monday, 5 December 2011
Jadwal dan rute baru keretaapi Rel Listrik
Senin (5/12/2011) ini, pola jalur melingkar kereta rel listrik (KRL) mulai efektif beroperasi. Sayangnya, perubahan pola baru ini justru merepotkan penumpang sehingga kurang disukai. Penerapan pola loop line pada perjalanan KRL Jabodetabek memang bertujuan menyederhanakan pola operasi, mengurangi overlapping di antara rute kereta api, mengurangi perpotongan di antara perjalanan KRL, dan meningkatkan kapasitas angkut.
Perbedaan pola ini ketimbang pola sebelumnya, antara lain, operasi KRL hanya tersisa enam rute dari 37 rute. Rute itu ialah Bogor-Manggarai-Tanah Abang-Duri-Jakarta Kota-Jatinegara, kedua Bogor-Manggarai-Jakarta Kota, ketiga Parung Panjang-Serpong-Tanah Abang, keempat Tangerang-Duri, kelima Bekasi-Jatinegara-Manggarai-Jakarta Kota, dan keenam Tanjung Priok-Jakarta Kota (Media Indonesia, 23/11).
Para penumpang kereta api commuter dari Parung Panjang/Serpong mulai 1 Desember 2011 tidak akan bisa lagi menumpang kereta langsung ke Stasiun Karet, Sudirman maupun Manggarai.
Berdasarkan poster-poster yang banyak ditempel di stasiun, Jumat (25/11/2011), para penumpang KRL yang akan menuju Stasiun Karet, Sudirman atau Manggarai harus transit dulu di Stasiun Tanah Abang, untuk selanjutnya menggunakan KRL lain menuju Karet, Sudirman atau Manggarai.
Semula penumpang KRL bisa langsung ke tiga stasiun tersebut dari Parung Panjang, Serpong, Pondok Ranji, Kebayoran Lama maupun Palmerah. Dengan perubahan rute tersebut, para pekerja atau orang yang hendak pergi ke kawasan Sudirman, Thamrin SCBD, Blok M yang semula bisa memanfaatkan KRL langsung turun Stasiun Sudirman lalu berpindah busway, harus bersabar sejenak menunggu KRL lain. Begitu pula sebaliknya.
Rute baru tersebut meliputi:
1. Bogor/Depok - Manggarai - Jakarta Kota (PP)
2. Bogor/Depok - Tanah Abang - Pasar Senen - Jatinegara (PP)
3. Bekasi - Jatinegara - Manggarai - Jakarta Kota (PP)
4. Parung Panjang - Serpong - Tanah Abang (PP)
5. Tanjung Priok - Jakarta Kota (PP)
6. Tangerang - Duri (PP)
lengkapnya dihttp://www.krl.co.id/c-news-c-menu-114/354-perubahan-jadwal-krl-commuter.html
Yang jelas Sistem baru ini memang membuat sejumlah penumpang harus berganti kereta, termasuk berpindah jalur, bahkan peron. Komunitas pengguna kereta KRL Mania mendesak KCJ menunda penerapan loop line.
Humas KRL Mania Agam Fatchurrochman mengatakan, secara umum penumpang menderita selama masa uji coba. Masalah utama penerapan sistem loop line ialah cara transit yang sulit serta waktu tunggu yang tidak tentu karena jadwal yang amburadul. Namun Mentri Dahlan Iskan sudah memutuskan jalan terus untuk rute ini.
Jadi nikmatilah..
Saturday, 3 December 2011
Siaga 2012 di ciliwung
Mandi dan mencuci untuk ibu-ibu adalah kegiatan rutin dilaksanakan di pagi hari di sepanjang sungai ini. Namun rasanya kebiasaan ini akan berakhir tahun depan. Karena bantaran Ciliwung mau dibersihkan dan penduduk di bantaran sungai ini harus siap-siap tegang dan pindah. Walau penduduk yang menempati tanah ini sudah tinggal bertahun-tahun di tanah liar di pinggir ciliwung, dan mereka dianggap legal oleh pemerintah kota setempat karena membayar PBB, tagihan listrik, dan telepon, serta memiliki RT, RW, dan kelurahan tertentu mereka harus pergi.
"Kalau dibilang penduduk liar, tetapi mereka memiliki KTP. Jadi, meskipun tinggal di tanah liar, namun keberadaan mereka masih dianggap legal," katanya saat menerima kunjungan Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak di kantor Kemenpera Jakarta, Jumat (2/12).
Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) segera melakukan pemancangan tiang pertama pembangunan rumah susun sedrhana sewa (rusunawa) di bantaran Kali Ciliwung (Jakarta) pada awal 2012.
Apapun alasannya vonis sudah dijatuhkan, keputusan sudah ditetapkan dan agaknya awal tahun 2012 suasana akan panas di bantaran sungai ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)